Mama, aku ingin menyebutmu demikian, sebagai penghormatan yang tiada tara. Malam ini, bulan sembunyi dengan angkuhnya, hingga aku tak bisa memandangi warna peraknya. Bintang yang gemerlapan itupun malah ikut mempermainkanku dengan tidak menampakkan diri. Padahal aku sangat ingin bermain-main sejenak, menerbangkan berbagai perasaan. Pada patahan malam ini, hanya ada deru angin yang sedang mencandai daun-daun pohon di seberang kamar. Aku merasakannya dalam gelap. Sesekali aku memandangi langit megah tak berpenyangga.
Mama, dalam keheningan hebat ini aku selalu membayangkan senyuman ikhlas yang Mama sunggingkan setiap menjumpaiku. Sebuah senyuman yang sudah menjadi desah nafas tiada pamrih. Aku memahatnya dalam tiap bingkai indah di ruang hati yang sudah menemaniku selama ini.
Oh iya Mama, aku masih ingat saat aku dengan tanpa beban memintamu menjadi pendongeng, dan sebentar kemudian engkau mulai membuaiku dengan banyak cerita. Aku mungkin akan mengingatnya selalu dalam benak sebagai kenangan tidak biasa. Saat Mama melompat seperti kodok, tertawa menyeramkan seperti nenek sihir, berdesis kepedasan saat monyet mencuri cabai petani. Saat itu aku pasti menirukannya.
Baru kusadari, ternyata Mama bisa menjelma peran apa saja. Koki pintar yang selalu memuasiku dengan makanan tak bertarif. Atau seorang psikolog handal, yang berjam-jam rela menjadi keranjang sampah cerita rutinitasku tanpa harus dibayar. Dokter yang menjagaku sepanjang malam tanpa lelap sedikitpun, kala aku harus terbaring mengalami sakit, dan itu gratis. Di lain waktu engkau menjadi sahabat dekat yang mengingatkanku untuk berhati-hati dengan seorang perempuan, saat itu aku tersenyum malu, ternyata kau bisa menebak apa yang belakangan itu terjadi.
Mama, hampir 21 tahun usiaku, Sudah selama itukah aku menapaki hidup?. Perasaan baru kemarin aku mengeja "Ini Budi" dan menghapal perkalian "3 x 3". Sepertinya baru kemarin aku merepotkanmu dengan pertanyaan-pertanyaan ibukota propinsi di Indonesia. Ah Mama, masih segar rasanya merengek-rengek ingin ikut pergi berjalan-jalan bersamamu. Padahal sekarang aku bisa pergi kapan saja tanpa takut tidak ditemani.
Sudah selama itukah aku menjadi bebanmu? (Aku sangat yakin engkau tidak berkenan dengan penggunaan kata "beban"). Bagimu, aku adalah tempat untuk mengekspresikan banyak hal. Kasih sayang, ketulusan, kebijaksanaan, keluhuran budi, kekayaan alami, kecerdasan, kearifan. Untukmu, aku adalah perwujudan cinta hakiki. Satu hari Mama menangis melihat darah yang keluar ketika aku terjatuh, dan Mama memelukku erat, "Sayang... berikan rasa sakit itu untuk Mama". Ah Mama, andai saat itu bisa kubujuk untuk kembali, aku tak akan meraung-raung dan tidak akan membuatmu khawatir, aku akan berkata "Aku baik-baik saja Mama".
Mama tersayang, surat ini sengaja aku tulis. Agar aku bisa menyapamu dengan agung, biar perasaan romantis ini bisa leluasa mengalir. Aku malu menyampaikannya secara langsung. Rasa terima kasih yang menggumpal dalam dada ini biarlah terangkai dalam kalimat-kalimat berirama sopran. Ah, Mama, aku tak punya keberanian untuk menyanjungmu terang-terangan, seperti yang selama ini Mama persembahkan. "Ayo sayang, tidurlah" atau "Duh anak Mama paling ganteng sedunia" atau "Jangan begitu, Mama yakin kau anak pintar dan mampu melakukannya dengan baik" dan masih banyak lagi.
Mama, terima kasih sudah menyeberangkan aku ke usia ini dengan selamat. Terima kasih juga atas rambu-rambu yang senantiasa menjadi pengarah hingga aku tidak terantuk dan tersesat. Berjuta rasa bahagia, karena mempunyai seorang ibu yang bijaksana, seorang yang selalu mewarnaiku dengan doa-doa ikhlas, seorang yang mendorongku untuk menjadi kaya ilmu dan budi. Jasa indah Mama tak terbilang. Aku hanya mampu menggoreskanya dalam sebentuk puisi sederhana:
Dia seperti Rimbun pohon kebijaksanaan,
Yang selalu naungi dunia kecil milikku
Sebarkan wangi kedamaian
tak henti memberiku semangat menapaki hidup
Dia, menjelma telaga teduh sepanjang waktu,
Tempatku bertambat, bermain dan bermimpi
Riak airnya membiakkan banyak kebahagiaan
Menemani segala bentuk hari yang ku lalui
Aku tak pernah mendapatinya kering,
Meski musim tidak terhitung berganti
Aku tak pernah melihatnya tumbang
Walau gelombang yang mendera bertubi-tubi
Dia tetap tersenyum menjumpaiku
Dia tetap membagi aku dengan kecupan sayang
Mama... aku menyebutmu demikian
Dan Mama... malam ini sudah sepatutnya aku mengulurkan renda-renda doa untuk mu. Doa yang Mama sendiri ajarkan. "Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orangtuaku, Sayangilah mereka seperti mereka menyayangi dan mendidik aku di waktu kecil".
Mamaku tersayang, bila esok tiba ... tak kan kusia-siakan untuk mereguk kebersamaan dengan engkau. Kesempatan untuk mendulang lebih banyak hal menakjubkan juga tidak akan ku-mubadzir-kan. Engkau adalah orang terkuat di dunia kecilku, dalam naungan langit mungil yang selalu mengakrabkanku dengan dunia sebenarnya. Engkau adalah muara dari segala hal yang aku butuhkan. Aku tidak akan menjadi apa-apa bila keberadaanmu nihil. Dan Mama, bantu aku menjadi sosok yang diharapkanmu. Karena aku sadar, tidak mudah membangunnya sendirian.
Akhirnya... semoga Mama baik-baik saja. Semoga Allah selalu menyayangimu dengan memberimu kekuatan untuk selalu menyayangiku. Mama, tunggu aku ..., aku berjanji untuk membuatmu tersenyum menatap bola raksasa itu pergi ke kaki langit.
----------------------------------------------------------------------------------------
Untuk wanita yang dititipi surga di bawah telapak kakinya.
Kumohonkan bahagia. Sebanyak darah yang pernah kau kucurkan demi sebuah kehidupan kedua. Tidakkah kau berpikir akan jadi apa dia nanti?akan mengagungkanmu atau justru memunggungimu.
Untuk wanita yang dititipi surat penebus dosa di bawah ampunannya.
Kumohonkan surga. Berani sekali ya?. Yah. Seberani dirimu bertawar dengan dengan izrail untuk jangan dulu menjemputmu. Sampai nanti kau rasa siap meninggalkan bocah yang hidupnya kau titipi separuh nyawamu sendiri.
Untuk wanita yang dijanjikan keterkabulan doa di tiap tetes air matanya.
Kumohonkan tenang. Karena hanya itu yang kau butuhkan. Aku tahu. Dan selalu seperti itulah aku. Tak mungkin sampai hati membuat jantungmu harus, lebih cepat, menderu.
Untuk wanita yang merelakan, selama sembilan bulan, perutnya aku huni.
Untuk wanita yang selalu membukakan pintu rumahnya untukku.
Untuk wanita yang dengannya aku merasakan arti pulang sebenarnya.
Untuk wanita yang derajatnya tingkat-tingkat dibanding ayah.
Untuk wanita yang pelukannya adalah paru-paru kecil yang meredam keluh.
Untuk wanita yang lebih sering berkata "iya" demi anaknya bahagia.
Untuk wanita yang selalu bersiaga menjemputku setiap kali aku salah langkah.
Untuk wanita yang memberiku pelajaran "cinta adalah rela tanpa meminta."
Untuk wanita yang lebih perkasa dari semua pria yang pernah ada.
Untuk wanita yang tak pernah tega kulihat berair mata..
"Ma, Kiki mau pulang,
Ma Kiki kangen,
Kiki sayang sama Mama"
*selamat hari ibu,emak,mama,mom,bunda,ma
Mama, dalam keheningan hebat ini aku selalu membayangkan senyuman ikhlas yang Mama sunggingkan setiap menjumpaiku. Sebuah senyuman yang sudah menjadi desah nafas tiada pamrih. Aku memahatnya dalam tiap bingkai indah di ruang hati yang sudah menemaniku selama ini.
Oh iya Mama, aku masih ingat saat aku dengan tanpa beban memintamu menjadi pendongeng, dan sebentar kemudian engkau mulai membuaiku dengan banyak cerita. Aku mungkin akan mengingatnya selalu dalam benak sebagai kenangan tidak biasa. Saat Mama melompat seperti kodok, tertawa menyeramkan seperti nenek sihir, berdesis kepedasan saat monyet mencuri cabai petani. Saat itu aku pasti menirukannya.
Baru kusadari, ternyata Mama bisa menjelma peran apa saja. Koki pintar yang selalu memuasiku dengan makanan tak bertarif. Atau seorang psikolog handal, yang berjam-jam rela menjadi keranjang sampah cerita rutinitasku tanpa harus dibayar. Dokter yang menjagaku sepanjang malam tanpa lelap sedikitpun, kala aku harus terbaring mengalami sakit, dan itu gratis. Di lain waktu engkau menjadi sahabat dekat yang mengingatkanku untuk berhati-hati dengan seorang perempuan, saat itu aku tersenyum malu, ternyata kau bisa menebak apa yang belakangan itu terjadi.
Mama, hampir 21 tahun usiaku, Sudah selama itukah aku menapaki hidup?. Perasaan baru kemarin aku mengeja "Ini Budi" dan menghapal perkalian "3 x 3". Sepertinya baru kemarin aku merepotkanmu dengan pertanyaan-pertanyaan ibukota propinsi di Indonesia. Ah Mama, masih segar rasanya merengek-rengek ingin ikut pergi berjalan-jalan bersamamu. Padahal sekarang aku bisa pergi kapan saja tanpa takut tidak ditemani.
Sudah selama itukah aku menjadi bebanmu? (Aku sangat yakin engkau tidak berkenan dengan penggunaan kata "beban"). Bagimu, aku adalah tempat untuk mengekspresikan banyak hal. Kasih sayang, ketulusan, kebijaksanaan, keluhuran budi, kekayaan alami, kecerdasan, kearifan. Untukmu, aku adalah perwujudan cinta hakiki. Satu hari Mama menangis melihat darah yang keluar ketika aku terjatuh, dan Mama memelukku erat, "Sayang... berikan rasa sakit itu untuk Mama". Ah Mama, andai saat itu bisa kubujuk untuk kembali, aku tak akan meraung-raung dan tidak akan membuatmu khawatir, aku akan berkata "Aku baik-baik saja Mama".
Mama tersayang, surat ini sengaja aku tulis. Agar aku bisa menyapamu dengan agung, biar perasaan romantis ini bisa leluasa mengalir. Aku malu menyampaikannya secara langsung. Rasa terima kasih yang menggumpal dalam dada ini biarlah terangkai dalam kalimat-kalimat berirama sopran. Ah, Mama, aku tak punya keberanian untuk menyanjungmu terang-terangan, seperti yang selama ini Mama persembahkan. "Ayo sayang, tidurlah" atau "Duh anak Mama paling ganteng sedunia" atau "Jangan begitu, Mama yakin kau anak pintar dan mampu melakukannya dengan baik" dan masih banyak lagi.
Mama, terima kasih sudah menyeberangkan aku ke usia ini dengan selamat. Terima kasih juga atas rambu-rambu yang senantiasa menjadi pengarah hingga aku tidak terantuk dan tersesat. Berjuta rasa bahagia, karena mempunyai seorang ibu yang bijaksana, seorang yang selalu mewarnaiku dengan doa-doa ikhlas, seorang yang mendorongku untuk menjadi kaya ilmu dan budi. Jasa indah Mama tak terbilang. Aku hanya mampu menggoreskanya dalam sebentuk puisi sederhana:
Dia seperti Rimbun pohon kebijaksanaan,
Yang selalu naungi dunia kecil milikku
Sebarkan wangi kedamaian
tak henti memberiku semangat menapaki hidup
Dia, menjelma telaga teduh sepanjang waktu,
Tempatku bertambat, bermain dan bermimpi
Riak airnya membiakkan banyak kebahagiaan
Menemani segala bentuk hari yang ku lalui
Aku tak pernah mendapatinya kering,
Meski musim tidak terhitung berganti
Aku tak pernah melihatnya tumbang
Walau gelombang yang mendera bertubi-tubi
Dia tetap tersenyum menjumpaiku
Dia tetap membagi aku dengan kecupan sayang
Mama... aku menyebutmu demikian
Dan Mama... malam ini sudah sepatutnya aku mengulurkan renda-renda doa untuk mu. Doa yang Mama sendiri ajarkan. "Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orangtuaku, Sayangilah mereka seperti mereka menyayangi dan mendidik aku di waktu kecil".
Mamaku tersayang, bila esok tiba ... tak kan kusia-siakan untuk mereguk kebersamaan dengan engkau. Kesempatan untuk mendulang lebih banyak hal menakjubkan juga tidak akan ku-mubadzir-kan. Engkau adalah orang terkuat di dunia kecilku, dalam naungan langit mungil yang selalu mengakrabkanku dengan dunia sebenarnya. Engkau adalah muara dari segala hal yang aku butuhkan. Aku tidak akan menjadi apa-apa bila keberadaanmu nihil. Dan Mama, bantu aku menjadi sosok yang diharapkanmu. Karena aku sadar, tidak mudah membangunnya sendirian.
Akhirnya... semoga Mama baik-baik saja. Semoga Allah selalu menyayangimu dengan memberimu kekuatan untuk selalu menyayangiku. Mama, tunggu aku ..., aku berjanji untuk membuatmu tersenyum menatap bola raksasa itu pergi ke kaki langit.
----------------------------------------------------------------------------------------
Untuk wanita yang dititipi surga di bawah telapak kakinya.
Kumohonkan bahagia. Sebanyak darah yang pernah kau kucurkan demi sebuah kehidupan kedua. Tidakkah kau berpikir akan jadi apa dia nanti?akan mengagungkanmu atau justru memunggungimu.
Untuk wanita yang dititipi surat penebus dosa di bawah ampunannya.
Kumohonkan surga. Berani sekali ya?. Yah. Seberani dirimu bertawar dengan dengan izrail untuk jangan dulu menjemputmu. Sampai nanti kau rasa siap meninggalkan bocah yang hidupnya kau titipi separuh nyawamu sendiri.
Untuk wanita yang dijanjikan keterkabulan doa di tiap tetes air matanya.
Kumohonkan tenang. Karena hanya itu yang kau butuhkan. Aku tahu. Dan selalu seperti itulah aku. Tak mungkin sampai hati membuat jantungmu harus, lebih cepat, menderu.
Untuk wanita yang merelakan, selama sembilan bulan, perutnya aku huni.
Untuk wanita yang selalu membukakan pintu rumahnya untukku.
Untuk wanita yang dengannya aku merasakan arti pulang sebenarnya.
Untuk wanita yang derajatnya tingkat-tingkat dibanding ayah.
Untuk wanita yang pelukannya adalah paru-paru kecil yang meredam keluh.
Untuk wanita yang lebih sering berkata "iya" demi anaknya bahagia.
Untuk wanita yang selalu bersiaga menjemputku setiap kali aku salah langkah.
Untuk wanita yang memberiku pelajaran "cinta adalah rela tanpa meminta."
Untuk wanita yang lebih perkasa dari semua pria yang pernah ada.
Untuk wanita yang tak pernah tega kulihat berair mata..
"Ma, Kiki mau pulang,
Ma Kiki kangen,
Kiki sayang sama Mama"
*selamat hari ibu,emak,mama,mom,bunda,ma
Huwaa..
Bikin terharu
Bagus tulisannya.
*peluk mama di rumah*