Kini, pengiriman naskah lewat email sudah merupakan hal yang sangat wajar. Namun,bukan berarti setiap media bersedia dikirimi naskah via email. Ada media yang masih lebih suka cara konvensional, yakni lewat pos. Karena itu, sebelum mengirim naskah, sebaiknya Anda menghubungi mereka. Tanyakan sarana mana yang lebih mereka sukai, pos atau email. Jika email adalah sarana yang akhirnya dipilih, ada sejumlah tips yang perlu diperhatikan agar naskah Anda tidak merepotkan si redaktur. Sebaliknya, kiriman naskah Anda justru meringankan tugas dan membuat mereka senang.
Tips untuk naskahnya:
Ketiklah naskah dengan huruf yang standar saja, yakni Times New Roman ukuran 12.
Jangan gunakan huruf yang aneh -aneh, yang justru membuat redaktur pusing membacanya.
Untuk judul, tetap gunakan jenis huruf yang standar, namun ukurannya diperbesar, misalnya 16.
Jangan lengkapi naskah Anda dengan hiasan -hiasan yang tidak perlu, seperti gambar bunga, judul yang diketik dengan huruf-huruf dari Word Art, dan seterusnya. Ketahuilah, cara seperti ini justru membuat file naskah Anda menjadi berat. Dan ini akan sangat menyulitkan si redaktur ketika mendownload dan membuka naskah Anda.
Upayakan agar naskah Anda disimpan dalam file yang ukurannya sekecil mungkin.
Berilah nama file yang mencerminkan judul naskah, jenis naskah, dan nama penulisnya. Misalnya, “cinta tak terlerai - jonru.rtf.” Ini akan sangat membantu si redaktur dalam mengenali file naskah Anda, karena mereka menerima naskah yang sangat banyak. Jangan beri nama file yang terlalu umum atau bahkan membingungkan, seperti “cerpen.doc”, “naskah puisi.rtf”, “file0986.doc”, dan seterusnya.
Ketiklah naskah dengan program MS Word. Setelah selesai, simpan file-nya dalam format RTF. Kenapa? Sebab RTF adalah jenis file yang sangat fleksibel dan cenderung aman dari virus. Untuk menyimpan file dalam format RTF (di MS Word), coba ikuti langkah-langkah berikut: Ketika naskahnya masih terbuka, klik menu File, pilih Save As. Pada kotak dialog “Save As” yang terbuka, carilah isian “Save as type”. Di sini, pilihlah opsi Rich Text Format (*.rtf). Setela itu klik Save.
Sebelum dikirim, jangan lupa scan file -naskah Anda dengan program antivirus, agar komputer si redaktur tidak mendapat kiriman naskah yang amat merugikan mereka.
Tips untuk pengiriman naskah:
Taatilah asas “satu file = satu naskah”. Jangan satukan beberapa naskah di dalam satu file. Ini akan membuat si redaktur repot karena harus memisah -misahkan naskah tersebut ke dalam file yang berbeda-beda.
Jika ada lampiran selain naskah, seperti biodata penulis, file image berisi KTP yang telah di-scan, dan seterusnya, tempatkan masing-masing di dalam file yang berbeda beda. Jangan lupa, beri nama file yang mencerminkan isi dari file tersebut. Misalnya, untuk biodata bisa diberi nama file “biodata jonru.rtf.” Jangan sampai terjadi, dalam satu file terdapat beraneka ragam isi, mulai dari naskah cerpen, biodata, dan seterusnya. Ini akan sangat merepotkan tugas si redaktur.
Jangan menempatkan naskah, biodata dan sebagainya di badan email. Tempatkan semua itu pada file attachment. Badan email hendaknya hanya berisi kata pengantar dari Anda untuk si redaktur. Misalnya, “Dear Redaktur majalah X, berikut saya kirim naskah cerpen berjudul ‘cinta pertama’, beserta lampirannya. Terima kasih. Regards, Jonru.” (sebetulnya, tanpa ada kata pengantar seperti ini pun tidak masalah. Tapi kalau mau ditulis pun tak apa-apa).
Pada judul atau subject email, tulis judul yang mencerminkan naskah kiriman Anda. Misalnya, “naskah cerpen - cinta pertama”. Ini akan sangat membantu si redaktur untuk mengenali jenis naskah Anda sebelum mereka melihat isinya.
Sebagai arsip, jangan lupa isi kolom BCC dengan alamat email Anda sendiri. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca artikel berjudul “Kiat pengiriman Naskah via Email (1)”.
Ketika kita mengirim naskah via email, entah itu buat penerbit, redak si majalah, milis, bahkan untuk teman sendiri, apakah kita yakin naskah tersebut akan diterima dengan baik oleh si penerima? Dalam melakukan apapun, kita sebaiknya selalu memikirkan kemungkinan terburuk. Misalnya, naskah kita dibajak, diakui sebagai milik orang lain, dan seterusnya. Bisa saja kan?
Memang sih, kejadian buruk tidak selalu terjadi. Alhamdulillah, saya pun belum pernah mengalaminya. Tapi, seperti yang saya sebutkan, kita harus selalu memikirkan kemungkinan terburuk dari semua tindakan kita.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya pembajakan karya dan hal -hal buruk lainya, selama ini saya melakukan sebuah kiat yang saya rasa cukup aman. Setiap kali mengirim naskah via email, saya tak lupa mengirim tembusannya (BCC) ke sebuah alamat email rahasia. Ini adalah alamat email pribadi saya, dan hanya saya yang mengetahuinya (karena rahasia itulah, alamat email ini saya tempatkan di isian BCC).
Dengan kata lain, saya menyimpan semua arsip naskah terkirim di mailbox email ini. Saya berharap, semoga pengarsipan seperti ini bisa menjadi bukti jika kelak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Memang, hampir setiap program email memiliki fitur untuk menyimpan setiap email terkirim di sent folder. Dan ini bisa kita gunakan sebagai arsip, yang fungsinya sama seperti system BCC di atas. Tapi perlu diketaui, penyimpanan pesan terkirim di sent folder ini sebenarnya hanya bersifat optional. Kita bisa mengaktifkan atau menonaktifkannya. Jadi, bisa saja kita - secara tidak sengaja - menonaktifkan fitur ini. Akibatnya, pesan email yang kita kirim tidak tersimpan di sent folder.
Oke, semoga bermanfaat ya…
"Penulis pemula seperti saya sangat sulit untuk menerbitkan buku. Semua penerbit lebih mementingkan tulisan dari penulis terkenal."
Anda mungkin sering mendengar pernyataan seperti di atas, bukan?
Bila Anda merasa masih pemula, mungkin Anda pun mengiyakan pernyataan -pernyataan itu. Anda setuju bahwa peluang seorang penulis pemula untuk sukses sangatlah sedikit, bahkan nyaris tidak ada.
BENARKAH DEMIKIAN?
Sahabatku, saya tak akan banyak berteori. Untuk hal yang satu ini, saya ingin mengajak Anda mencermati FAKTA OBJEKTIF yang selama ini mungkin Anda lewatkan.
Inilah FAKTA tersebut:
Sebelum nama Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) sangat terkenal seperti sekarang ini, sebelum novelnya "Ayat-Ayat Cinta" menjadi best seller nasional dan dibaca oleh jutaan orang, SIAPAKAH DIA SEBENARNYA? Apakah ada orang yang mengenal namanya?
Pada saat itu, Kang Abik tak ubahnya seperti Anda. Dia juga "dikutuk" sebagai penulis pemula yang belum dikenal oleh siapapun, kecuali oleh orang -orang yang dekat dengannya.
Serupa dengan Kang Abik, kondisi yang sama juga dialami oleh sejumlah penulis best seller lainnya:
- Sebelum menerbitkan novel "Laskar Pelangi", Andrea Hirata masih sangat pemula. Bahkan dia belum pernah kepikiran untuk menjadi penulis.
- Sebelum menerbitkan novel "Jomblo", Aditya Mulya juga masih sangat pemula.
- Sebelum menerbitkan novel "Cintapuccino", Icha Rahmanti juga masih sangat pemula.
- Sebelum menerbitkan buku "Kupinang Kau dengan Hamdallah," Fauzil Adhim juga masih sangat pemula.
Tapi, mereka berhasil "membebaskan diri" dari "kutukan penulis pemula".
Hei... sebaiknya kita menghindari kata "kutukan", sebab status penulis pemula sebenarnya bukan kutukan.
KENAPA?
SECARA LOGIKA, tak ada penulis yang tiba-tiba jadi terkenal dan sukses. Mereka semua pasti pernah melewati status yang bernama penulis pemula.
Semua penulis - baik yang sudah sangat sukses maupun yang biasa -biasa saja - pasti pernah menjadi penulis pemula.
"Apakah media massa dan penerbit benar-benar tertutup terhadap penulis pemula?"
Tentu saja TIDAK! Hampir semua penerbit dan media sebenarnya SANGAT TERBUKA terhadap naskah-naskah dari penulis pemula.
Bagi sebuah media, yang paling mereka utamakan untuk dimuat adalah tulisan-tulisan yang BERKUALITAS, dan SESUAI dengan karakter serta misi dan visi mereka.
Bagi sebuah penerbit, yang paling mereka utamakan adalah naskah -naskah yang LAKU DIJUAL.
JADI:
Bila Anda berhasil membuat tulisan yang berkualitas dan sesuai dengan
karakter/misi/visi Harian Kompas misalnya, maka tulisan Anda akan mudah dimuat di Kompas, walau Anda masih sangat pemula.
Bila Anda berhasil menulis naskah yang memiliki nilai jual yang tinggi, maka naskah
Anda akan disukai oleh para penerbit, mereka akan dengan senang hati menerbitkannya, walau Anda masih sangat pemula.
Sahabatku...
Daripada Anda sibuk mengutuki diri sendiri yang masih berstatus penulis pemula, tentu lebih baik bila Anda BERJUANG KERAS agar meraih impian sebagai penulis sukses.
Bila Anda masih menganggap status penulis pemula sebagai kutukan, setidaknya Anda bisa BERJUANG KERAS untuk membebaskan diri dari kutukan tersebut.
パレスチナに起こる事件、僕自身が深く落ち込んでいる。それでこれだけが僕ができることなのかと思う時に、「絶対嫌!」と返事してみる・・・僕、なぜか超スパー能力兵器研究者になりたい。イスラエルをいつかぶっ壊してやると考える・・・
パレスチナ侵略者達に対し 地獄に当然
1件のフィードバック これまでに »
Ada tiga paradigma yang dibahas oleh Walt di dalam artikelnya ini yaitu, Realisme, Liberalisme dan Konstruktivisme. Dalam pembahasannya tersebut Walt banyak mengulas tentang perkembangan-perkembangan yang terjadi pada masing-masing paradigma.
Realisme
Salah satu kontribusi yang diberikan realisme adalah perhatiannya terhadap permasalahan relative gains dan absolute gains. Merespon kalangan institusionalis yang beranggapan bahwa institusi internasional memungkinkan negara meninggalkan keuntungan jangka pendek untuk meraih keuntungan jangka panjang, para realis seperti, Joseph Grieco dan Stephen Krasner menyatakan bahwa sistem yang anarkis memaksa negara untuk memperhatikan secara bersamaan: 1) absolute gains dari kerjasama dan; 2) aturan main dalam distribusi keuntungan di antara partisipan. Logikanya adalah, jika sebuah negara mendapatkan keuntungan lebih besar dari yang lain maka ia secara gradual akan semakin kuat. Sementara negara yang lain akan semakin rentan (vulnerable).
Selain itu, realis juga cepat dalam merespon isu-isu baru. Barry Possen menawarkan penjelasan realis tentang konflik etnis. Ia mencatat bahwa pecahnya negara-negara multietnis menempatkan kelompok etnis lawan dalam situasi yang anarkis. Sehingga memicu intensitas ketakutan dan menggoda (tempting) masing-masing kelompok menggunakan kekuatan untuk meningkatkan posisi relatif mereka. Permasalahan ini akan semakin parah ketika di dalam wilayah masing-masing kelompok terdapat kantong-kantong (enclaves) yang didiami oleh etnis lawan. Karena masing-masing pihak akan tergoda melakukan pembersihan (cleanse) – bersifat preemptif – kelompok minoritas dan melakukan ekspansi untuk memasukan anggota kelompok mereka yang berada di luar batas wilayah.
Tetapi menurut Walt, pengembangan konsep yang paling menarik dari paradigma realis adalah munculnya perbedaan pemikiran antara kelompok “defensif” dan “ofensif”. Kalangan realis-defensif semacam Waltz, Van Evera dan Jack Snyder berasumsi bahwa negara memiliki sedikit kepentingan intrinsik di dalam penaklukan militer (military conquest). Dengan alasan, biaya yang dikeluarkan untuk ekspansi, umumnya, lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh. Bagi mereka, sebagian besar perang besar (the great power wars) disebabkan oleh kelompok-kelompok domestik yang membesar-besarkan persepsi atas ancaman dan adanya keyakinan yang tinggi terhadap kemanjuran kekuatan militer.
Kalangan ini melihat bahwa perang lebih mungkin terjadi ketika kemungkinan untuk melakukan penaklukan diantara negara-negara sangat mudah dilakukan. Namun ketika defense lebih mudah dilakukan dibandingkan offense, keamanan akan muncul dimana-mana, dorongan untuk ekspansi berkurang dan kerjasama akan berkembang. Dan jika defense memiliki keuntungan dan negara-negara mampu membedakan antara senjata untuk bertahan dan menyerang, kemudian negara-negara dapat memperoleh alat-alat untuk mempertahankan diri tanpa mengancam negara lain. Dengan demikian mengenyahkan efek dari sistem yang anarki. Dalam pandangan kalangan realis-defensif, “states merely sought to survive and great powers could guarantee their security by forming balancing alliances and choosing defensive military postures (such as retaliatory nuclear forces)”[2]
Namun pandangan tersebut mendapat tantangan dari sejumlah teoritisi lain. Diantaranya adalah Peter Liberman yang menulis sebaliknya, bahwa manfaat dari melakukan penaklukan (conquest) seringkali lebih besar dari pada biaya yang harus dikeluarkan. Liberman mengemukakan argumentasinya dengan memberikan sejumlah kasus seperti, pendudukan Nazi atas Eropa Barat dan hegemoni Uni Soviet atas negara-negara Eropa Timur. Yang dengan demikian membuang keraguan terhadap klaim bahwa ekspansi militer tidak efektif lagi.
Kritik datang pula dari kalangan realis-ofensif seperti, Eric Labs, John Mearsheimer dan Fareed Zakaria yang menyatakan bahwa situasi anarki mendorong negara-negara untuk mencoba memaksimalkan kekuatan relatif mereka karena tidak satupun negara dapat memastikan kapan kekuatan revisionis sesungguhnya akan muncul.
Perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan pandangan diantara kalangan realis dalam melihat persoalan internasional, semisal masa depan Eropa. Bagi kalangan realis-defensif seperti Van Evera, perang tidaklah hanya sedikit memberi keuntungan dan seringkali lahir dari militerisme, hypernationalism, atau beragam distorsi yang berasal dari faktor domestik. Van Evera mempercayai bahwa sebagian besar kekuatan militer tidak berperan (absent) di era pasca perang dingin. Ia berkesimpulan bahwa “the region is “primed for peace””. Sebaliknya para realis-ofensif berpendapat bahwa system yang anarki mendorong kekuatan-kekuatan besar untuk berkompetisi terlepas dari karakteristik internal mereka dan kompetisi keamanan akan kembali ke Eropa.
Liberalisme
Dalam tulisannya ini Walt mengulas mengenai perkembangan teori ‘democratic peace’. Teori ini berpendapat, meskipun demokrasi tampak “mensponsori” perang namun ia jarang melakukan peperangan di antara mereka. Karena norma-norma demokrasi menentang penggunaan kekerasan sesama mereka.
Namun keyakinan tersebut saat ini mendapatkan sejumlah suntikan perkembangan baru dari sejumlah teoritisi. Snyder dan Edward Mansfield menekankan bahwa negara-negara akan lebih mudah berperang jika mereka berada di tengah-tengah transisi demokrasi.[3] Sehingga upaya mengekspor demokrasi akan semakin memperburuk keadaan.
Bukti-bukti kuat mengenai demokrasi yang tidak saling berperang hanya ada pada masa-masa pasca 1945. Sebagaimana dinyatakan Joanne Gowa bahwa kekosongan konflik pada masa-masa pasca 1945 lebih disebabkan oleh kepentingan untuk menghadang Uni Soviet daripada to share prinsip-prinsip demokrasi.
Begitu pula dari jajaran liberal-institusionalis, terjadi sejumlah perkembangan-perkembangan baru. Saat ini bagi mereka, institusi dipandang sebagai fasilitator bagi kerjasama antar negara-negara yang memiliki kesamaan kepentingan. Dan setuju bahwa negara-negara tidak dapat dipaksa untuk bekerjasama jika itu bertentangan dengan kepentingan negara tersebut.
Sementara aliran liberal-ekonomik berpendapat bahwa “globalisasi” pasar dunia, kemunculan jaringan transnasional dan NGO dan penyebaran yang cepat teknologi komunikasi global mengurangi power dari negara-negara dan mengubah perhatian dunia dari persoalan keamanan militer ke persoalan kesejahteraan ekonomi dan sosial.
Bagi Walt walaupun terjadi perubahan-perubahan di dalam pemikiran ini namun logika dasarnya tetap sama yaitu, masyarakat global terjebak ke dalam jaring-jaring ekonomi dan sosial yang saling berkait dan resiko merusak jejalinan tersebut secara efektif menghalangi tindakan-tindakan unilateralis negara-negara, terutama dalam hal penggunaan kekerasan (force). Perspektif ini secara implisit menyatakan bahwa perang akan tetap merupakan pilihan yang jauh di dalam negara-negara demokrasi industrial tingkat lanjut (the advanced industrial democracies). Bagi mereka membawa Cina dan Rusia ke dalam kapitalisme dunia merupakan cara terbaik untuk mempromosikan kesejahteraan dan perdamaian, terutama jika proses ini menghasilkan kelas menengah yang kuat di dalam negara dan memperkuat tekanan bagi demokratisasi.
Konstruktivisme
Jika realisme dan liberalisme berfokus pada faktor-faktor yang bersifat material (kasat mata) seperti power dan perdagangan maka konstruktivis berfokus pada ide. Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang dapat dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Mereka memberi perhatian pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior). Dengan demikian konstruktivis memberi perhatian pada sumber-sumber perubahan (sources of change). Dengan pendekatannya yang demikian maka konstruktivis menggantikan marxisme sebagai the preeminent radical perspective di dalam hubungan internasional.
Menurut perspektif konstruktivis, isu-isu utama di era pasca perang dingin berkait dengan persoalan-persoalan bagaimana kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda conceive (menyusun dan memahami) kepentingan dan identitas mereka.
Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya.
Salah satu karakteristik dari konstruktivisme adalah non-universalis. Tidak ada ketunggalan analisa atas fenomena. Walt mencontohkan jika Wendt berfokus pada persoalan bagaimana anarki dipahami oleh negara-negara, maka kalangan konstruktivis lain menekankan pada persoalan-persoalan masa depan negara teritorial. Mereka menyatakan bahwa komunikasi transnasional dan penyebaran nilai-nilai civil (civic values) mengubah loyalitas national tradisional dan secara radikal menghasilkan bentuk-bentuk baru ikatan politik (political association).
Di dalam tabel berikut, Walt memberikan sejumlah perbedaan-perbedaan di antara ketiga pemikiran tersebut.
Tabel: Perbedaan Antar Perspektif di dalam HI
Competing Paradigm | Realism | Liberalism | Constructivism |
Main theoretical proposition | Self-interest states compete constantly for power or security | Concern for power overridden by economic/political considerations (desire for prosperity, commitment to liberal values) | State behaviour shaped by elite beliefs, collective norms, and social identities |
Main unit of analysis | States | States | Individual (especially elites) |
Main instruments | Economic and especially military power | Varies (international institutions, economic exchange, promotion democracy) | Ideas and discourse |
Modern theories | Hans Morgenthau Kenneth Waltz | Michael Doyle Robert Keohane | Alexander Wendt John Ruggie |
Representative modern works | Waltz, Theory of International Politics. Mearsheimer, “Back to the Future: Instability in Europe after the Cold War” (International Security, 1990) | Keohane, After Hegemony. Fukuyama, “The End of History?” (National Interest, 1989) | Wendt, “Anarchy Is What States Make of It” (International Organization, 1992) Koslowski & Kratochwil, “Understanding Changes in International Politics” (International Organization, 1994) |
Post-cold war prediction | Resurgence of event great power competition | Increased cooperation as liberal values, free market, and international institution spread. | Agnostic because it cannot predict the content of ideas |
Main limitation | Does not account for international change | Tends to ignore the role of power | Better of describing the past than anticipating the future |
Sumber: Walt, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998.
Sementara Steve Smith[4] menulis, untuk memahami teori-teori internasional saat ini ada dua distinction yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, perbedaan antara “explanatory theory” dan “constitutive theory”. Kedua mengenai “foundational theory” dan “anti-foundational theory”.
Bagi explanatory theory, dunia berada di luar teori. Sebaliknya constitutive theory menyatakan bahwa teori-teori yang ada mengonstruksi dunia.[5] Artinya, bagi kalangan eksplanatoris dunia dipahami berdiri sendiri tidak terpengaruh oleh faktor subjektivitas aktor-aktor yang berdinamika di dalam dunai sosial. Dunia bersifat objektif. Tetapi sebaliknya, kalangan constitutive melihat dunia sebagai hasil pemahaman individu atas lingkungan sosialnya.
Tentang perbedaan antara foundational theory dan anti-foundational theory terletak pada isu apakah keyakinan (belief) kita tentang dunia dapat dites atau dievaluasi menggunakan prosedur yang netral dan objektif. Bagi foundationalist kebenaran dapat diukur sehingga justifikasi atas benar atau salah dapat dilakukan. Berbeda, anti-foundationalist berpendapat bahwa bahwa justifikasi benar atau salah atas klaim kebenaran tidak dapat dilakukan karena tidak pernah ada sesuatu yang netral yang dapat melakukan itu. Bahkan setiap teori menentukan sendiri apa yang disebut sebagai fakta.
Explanatory theory cenderung kepada foundationalism dan constitutive theory cenderung kepada anti-foundationalism. Kebanyakan teori-teori internasional terbaru berada di dalam kelompok anti-foundational theory seperti, posmodernisme, sebagian teori-teori feminis dan sebagian besar teori normatif (normative theory).
Sementara sosiologi historis (historical sociology) dan teori kritis cenderung berada di posisi foundationalisme. Namun di antara dua kutub tersebut terdapat konstruktivisme sosial (social constructivism) yang berada di tengah-tengah.
Juga di dalam dinamika teori-teori internasional terdapat pula debat antara positivisme dan non-positivisme yangmenyebabkan terjadinya tiga kelompok besar, yaitu: [6]
1. Rasionalisme. Di dalam kelompok ini terdapat neo-liberalisme dan neo-realisme.
2. Reflektivisme. Di dalam kelompok ini terdapat posmodernisme, teori feminis, teori normatif (normative theory), teori kritis, dan sosiologi historis (historical sociology).
3. Konstruktivisme sosial. Yang berada di tengah-tengah kedua kutub.
Neo-Neo Synthesis
Di dalam tulisannya ini Smith menjelaskan bahwa dalam perkembangannya yang lebih lanjut, terutama sejak 1980-an, realisme dan liberalisme mencapai satu titik kesamaan. “Essentially each looked at the same issue from different sides: that issue was the effect of international institutions on the behaviour of states in a situations of international anarchy.[7]”
Di dalam debat-debat yang terjadi di antara kedua perspektif tersebut ada dua poin yang perlu dicermati yaitu, pertama, neo-realis lebih menekankan pada relative gains sementara neo-liberalisme menekankan pada absolute gains. Perbedaannya adalah, katakanlah ada sebuah kue, jika kemudian negara-negara berpikir untuk mendapatkan potongan kue yang paling besar dari yang lain tanpa mempedulikan ukuran kue tersebut maka ia lebih menekankan pada relative gains. Sementara jika negara-negara berpikir untuk memperbesar ukuran kue agar seluruh negara dapat memperoleh potongan kue yang besar maka negara-negara tersebut lebih menekankan pada absolute gains.
Kedua, neo-realis tidak mempercayai bahwa institusi international dapat menanggulangi akibat dari anarki internasional. Sebaliknya bagi neo-liberal, mereduksi terjadinya misunderstanding dan kerjasama antar negara dapat mencegah efek-efek yang ditimbulkan oleh anarki internasional. Kemudian juga, jika neo-realis lebih menekankan pada masalah-masalah keamanan, neo-liberal lebih menekankan pada isu-isu ekonomi-politik.
Smith juga mencatat, mengikuti Baldwin, ada empat kelemahan yang dimiliki oleh ‘neo-neo synthesis’[8]:
- Kedua perspektif meninggalkan isu-isu the use of force yang menjadi kunci perbedaan utama antara realisme dan liberalisme pada decade-dekade sebelumnya. Kedua perspektif tampaknya berusaha melemahkan relevansi isu-isu tersebut di dunia modern saat ini.
- Jika sebelumnya liberalisme melihat aktor-aktor sebagai agen moral dan realis melihat aktor-aktor sebagai power maximizers maka di dalam perkembangan ‘neo-neo debate’ keduanya setuju bahwa aktor-aktor merupakan value maximizers.
- Jika sebelumnya terjadi perdebatan dimana realis menekankan negara sebagai aktor dan liberalisme menekankan pada non-state actors maka di dalam ‘neo-neo debate’ keduanya setuju bahwa negara merupakan aktor utama di dalam politik internasional.
- Jika realisme melihat konflik sebagai kunci untuk memahami politik internasional dan liberalisme melihat kerjasama sebagai sesuatu yang penting maka neo-neo debate melihat kedua-duanya, baik kerjasama dan konflik sebagai fokus perhatian.
‘Neo-neo synthesis’ dapat dikatakan lahir sebagai respon atas kegagalan realisme dan liberalisme klasik dalam menganalisis fenomena internasional yang tidak sepenuhnya berjalan seperti apa yang diteorisasikan oleh dua paradigma tersebut. Hal itu disebabkan oleh perilaku aktor-aktor internasional yang cenderung pragmatis, dalam pengertian memanfaatkan kedua pendekatan tersebut dalam mencapai kepentingannya, menyebabkan realitas sosial internasional tidak dapat dilihat secara hitam putih dari perspektif masing-masing pendekatan.
Fenomena ‘neo-neo synthesis’ tidak saja merubah sejumlah pandangan yang telah ada sebelumnya di masing-masing pendekatan namun juga melahirkan sejumlah persamaan pendapat pada kedua pemikiran tersebut yang menyebabkan semakin berkurangnya jurang pemisah antara (neo) realis dan (neo) liberalis.
Social Constructivism: Bridging The Gap
Jika kita mengikuti pola pembagian yang dilakukan oleh Lapid dia atas maka di dalam bagan, ketiga kelompok besar tersebut akan tampak seperti di bawah ini:
“I am sure that it promises to be one of the most important theoretical development of recent decades; the reason is that is that if it could deliver what it promises then it would it would be the dominant theory in the discipline, since it could relate to the all other approaches on their own terms, whereas at the moment there is virtually no contact between rationalist and reflectivist theories since they do not share the same view of how to build knowledge.[9]
Selain itu Wendt juga menyatakan bahwa collective meaning menentukan struktur yang mengatur tindakan-tindakan kita. Dan aktor-aktor memperoleh kepentingan dan identitasnya melalaui pertisipasi di dalam collective meaning tersebut. Identities and interests are relational and are defined as we defined situations.[10]
Dari sini terlihat makin jelas bahwa berbeda dengan (neo) realisme dan (neo) liberalisme, konstruktivisme memberikan penjelasan yang berbeda dalam menganalisa fenomena sosial, khususnya fenomena internasional. Konstruktivis melihat fenomena sosial merupakan hasil bentukan dari interaksi antar aktor-aktor internasional[11], sebaliknya dengan realisme dan liberalisme. Yang melihat ada unsur-unsur yang ada begitu saja tanpa campur tangan aktor-aktor internasional (given).
Model analisa yang diberikan oleh konstruktivisme ini tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari perkembangan tren wacana sosial dewasa ini yang lebih banyak menitikberatkan pada persoalan-persoalan “dunia ide” yang menitikberatkan pada persoalan-persoalan konstruksi sosial atas realitas. Perkembangan teori-teori model ini tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari sekelompok ilmuwan sosial Jerman yang dikenal sebagai Mahzab Frankfurt (Frankfurt School) dimana salah satu pemikir terkenalnya adalah Juergen Habermas. Dari Mahzab Frakfurt ini kemudian berkembang teori-teori reflektivisme dengan berbagai variannya.
Jika dikaitkan dengan jaman kekinian, dimana mobilitas dan jumlah informasi yang berseliweran sehari-hari sangat tinggi (information age), teori ini memiliki relevansi yang sangat signifikan. Karena saat ini kekuasaan tidak lagi dilanggengkan dengan kekuatan senjata semata melainkan juga melalui media-media informasi yang dapat mengonstruksi kesadaran masyarakat.
Hanya saja mengenai pemikiran konstruktivisme (terutama konstruktivisme Wendt), Steve Smith memberikan kritikan bahwa pemikiran Wendt tidak sepenuhnya dapat menjadi jembatan yang menghubungkan gap yang terjadi di antara rasionalisme (neo-realisme dan neo-liberalisme) dan reflektivisme (teori kritis, posmodernisme, dll). Ada lima alasan yang dikemukakan Smith:
1. Pemikiran konstruktivisme Wendt tidak cukup memuaskan bagi kalangan reflektivis yang menyukai pandangan yang lebih radikal dibandingkan Wendt.
2. Wendt terlalu “berbau” realis. Ini dapat dilihat dari pendapatnya yang menyatakan “to that extent, I am a statist and realist”. Artinya Wendt tetap memandang bahwa negara merupakan aktor utama dan negara tetap akan mendominasi. Padahal pemikiran ini yang ingin dirubah oleh reflektivisme.
3. Keinginan Wendt untuk menggabungkan rasionalis dan reflektivis bagi Smith tidak mungkin dilakukan terutama berkaitan tentang persoalan “how to construct knowledge.” Rasionalis memiliki landasan positivis sementara reflektivis post-positivis. Dua pandangan ini memiliki perbedaan yang sangat jauh sehingga sulit untuk dikombinasikan.
4. Konsep ‘struktur’ yang dikemukakan Wendt kurang material. Karena bagi Wendt struktur merupakan apa yang dipahami di kepala si aktor. Sementara bagi banyak ilmuwan struktur dipahami sebagai refleksi dari kepentingan yang material.
5. Wendt berpendapat bahwa identitas datang dari hasil proses interaksi. Kritik yang diberikan Smith atas pendapat ini adalah kita tidak datang ke dalam sebuah interaksi tanpa membawa identitas yang sebelumnya telah didapatkan. Artinya identitas yang telah kita peroleh sebelumnya akan mempengaruhi pihak lain yang terlibat di dalam sebuah proses interaksi, begitu juga sebaliknya.
Stephen M. Walt pun memberikan kritikannya terhadap konstruktivisme bahwa kelemahan konstruksivisme terletak pada ketidakmampuannya memberikan solusi atas persoalan (Better of describing the past than anticipating the future).
1. Stephen M. Walt, ‘International Relations: One World, Many Theories’, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998.
2. Steve Smith, ‘New Approaches to International Theory’ di dalam John Baylis & Steve Smith (ed.), The Globalization of World Politics: Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press, 1997.
[1] Pembahasan beragam perspektif di dalam HI ini didasarkan pada tulisan Stephen M. Walt, ”International Relations: One World, Many Theories’, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998 dan Steve Smith, ‘New Approaches to International Theory’ di dalam John Baylis & Steve Smith (ed.), The Globalization of World Politics: Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press, 1997.
[2] Stephen M. Walt, ‘International Relations: One World, Many Theories’, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998
[3] Buku terbarunya Amy Chua, World on Fire: How Exporting Market Democracy Breeds Hatred and Global Instability, London: Arrows Book, 2004 mungkin dapat dijadikan pegangan dalam memahami pendapat tersebut.
[4] Steve Smith, ‘New Approaches to International Theory’ di dalam John Baylis & Steve Smith (ed.), The Globalization of World Politics: Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press, 1997.
[5] Dalam bahasa Smith, “explanatory theory is one of that sees the world as something external to our theories of it; in contras a constitutive theory is one that thinks our theories actually help construct the world.”
[6] Smith, op.cit
[7] ibid. Dengan penekanan oleh penulis.
[8] Ini merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut perdebatan-perdebatan yang terjadi antara realisme dan liberalisme yang memancing terjadinya perkembangan-perkembangan terbaru di dalam tubuh kedua perspektif tersebut.
[9] Smith, op.cit.
[10] Ibid.
[11] Terutama sekali bentukan (konstruksi) yang datang dari hasil konstruksi kesadaran atau pikiran.
artikel diambil dari Indoakatsuki.us atas tulisan saudara azuma Mutsu
Tau ga arti fansub itu apa??
Fansub adalah kepanjangan dari Fan-subtitle, artinya subtitle yang dikeluarkan bukan resmi dari distributor anime. Kita dapat mengunduh tanpa dipungut biaya dari internet, dan biasanya mereka mendistribusikan melalui torrent atau irc.
Pernah baca ga kata-kata di setiap release suatu fansub??
Inget kata-kata yg mewarning Anda??
Kalau Mahou, Dattebayo, AnimeCo, A-Kingdom, Ani-Kraze, AnimeOne, Menclave n ratusan fansub aja ngasih release GRATIS, kok bisa2nya Anda menjual hasil kerja keras mereka...!!!
MALU.. OIII...!!!
Lengkapnya baca neeh:Hukum tak tertulis subber
Harus Gratis
Tidak perduli alasan apapun sebuah fansub tidak boleh dan HARAM diperjual belikan. Biaya yang dikeluarkan oleh mereka yang mendownload fansub hanyalah biaya internet mereka sendiri. Alasan semacam biaya burn CD, maintenance Drive CD/DVD RW, maupun biaya untuk mengganti pengeluaran internet YANG SERING DIJADIKAN ALASAN OLEH PARA PENJUAL BOOTLEG ATAU DivX Seller ADALAH TIDAK BENAR ADANYA DAN HARAM! Seorang distributor tidak pernah memberikan biaya Kopi CD/DVD dan koneksi internet untuk mendownload. Yang ada hanyalah biaya beli CD/DVD dan pengiriman. Itupun sangat jarang, karena biasanya distributor fansub benar-benar all out dengan memberikan semuanya gratis!
Seperti yang sudah diketahui, kebanyakan subber berasal dari luar Indonesia, dan mereka kebanyakan menggunakan software asli, yang sudah pasti harganya MAHAL. RAW (video asli) dari luar negripun harganya sangat mahal dan susah didapatkan. Melakukan subbing, tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk sebuah fansub Anime, misalnya saja. Mula-mula RAW (Mentahan-baru di dapat dari jepang) dikumpulkan, untuk kemudian dipisahkan antara audio dan videonya, ditranslasi, kemudian dipilihlah kata-kata yang sesuai dan tidak mengurangi kelucuan atau keseruan dari cerita yang disub, kemudian pada fansub-fansub baru biasanya ditambahkan karaoke, baru kemudian diupload. Beberapa group bahkan khusus memiliki staf untuk menerjemahkan sesuatu yang sulit ataupun PUN agar fansub bisa dinikmati kalangan internasional. Bahkan fansub sendiri dipandang memiliki terjemahan dan tampilan yang lebih menarik ketimbang release asli.
Jika memandang proses yang sangat rumit tersebut, MAKA AKAN SANGAT LUCU jika seorang DivX Seller ataupun Bootlegger meminta bayaran dari hasil "jerih payah" mereka mendownload melalui fasilitas kantor.
Boleh Menerima Sumbangan
Dengan catatan, tidak menetapkan jumlah sumbangan, dan digunakan bukan untuk keperluan pribadi. Misalnya untuk bayar server, Bandwith, dan sebagainya. TIDAK BOLEH membedakan antara orang yang menyumbang dan tidak dalam kualitas fansub!.
Tidak boleh melakukan subbing yang sudah direlease di negaranya
Fansub, dasarnya adalah fan, dan seorang FAN, atau penggemar, WAJIB mensupport apa yang digemarinya. Memberikan barang secara gratis tentunya akan merugikan artis, mangaka ataupun perusahaan yang mengeluarkan, sehingga jika sebuah media, manga maupun anime, direlease di sebuah negara dengan ijin tertulis, dia akan menghentikan subbingnya dan menyerahkan proyek lanjutannya ke grup fansub lain yang belum memiliki release di negaranya. Salah satu group yang merelease School Rumble sempat menghentikan fansubnya setelah versi Amerikanya di release dan melemparnya ke grup lain.
Meskipun demikian, penggemar dari negara yang sudah direlease BOLEH TETAP MENDOWNLOAD ATAU MENDAPATKAN file fansub yang direlease bukan dari negaranya, selama dia mengerti bahasa yang digunakan, tujuannya untuk tetap mengetahui perkembangan cerita dan tetap membeli release asli.
Grup lain juga bisa mendistribusikan fansub selama TIDAK MEMBUAT FANSUB dan menyetujui ToA yang diberikan grup yang merelease fansub (baca lebih jauh dibawah)
Grup fansub bisa kembali melanjutkan proyek jika release di negaranya tidak dilanjutkan atau mati ditengah jalan.
Boleh menyebarkan fansub grup lain, asal menyetujui ToA
Beberapa grup menyertakan ToA (Terms of Agreements-Hal-hal yang disetujui) pada fansub yang mereka release. Contohnya AnimeHeaven (Pada manga scan : Aqua Star) pernah menuliskan : "Please do not distribute or release outside ours before project completed" -Mohon jangan sebarkan diluar situs/channel kami sebelum proyek (fansub) ini tamat-. Hal ini bisa dimengerti karena maintenance server ataupun bandwidth mereka menggunakan iklan yang dipasang di situs. Jika pengunjung mereka sedikit, tentunya biaya maintenance tidak akan ada dan menyebabkan grup bubar. Hal ini bisa dibolehkan karena termasuk dalam sumbangan dan Fan sejati harus mau paham.
Pesan yang lain yang pasti termuat dalam setiap fansub adalah : “THIS IS FREE FANSUB! NOT FOR RENT OR SALE!” Sesuatu yang bahkan anak kecil jaman sekarang akan mengerti artinya…
Pesan untuk bootlegger yang baca ini : "Release gratis fansub grup lain aja ada aturannya tauk! Lah kalian seenaknya ngejual, ngaku-ngaku fans! DASAR PALESU™!!!"
tambahan dari kiki, mungkin sebagai seorang yang sering ber internet ria, tidak etis bagi kiki membagikan barang gretongan dengan berbayar... apalagi hasil download fansub dan komik dari internet.
bisa di bayangkan donk gimana kalau kita tahu barang kayak ginian beredar di banyak di internet dan tentunya gratis, apalagi FanSub translatenya lebih bagus ketimbang resminya,
Di fansub, tulisan jepang kanji yang ada diAnime aja diterjemahin (Pro banget deh),Kalo yang resmi jarang banget malah nggak ada kali.
Kasihan Fansub, mereka susah susah beli mentahan videonyanya terus diterjemahin buat kita para fans Anime, terus digratisin buat didownload oleh para fans Anime, eh malah ada pihak tidak bertanggung jawab yang ngejualin.
Dan Biasanya diSitus FanSub sendiri selalu ada himbauan untuk membeli Karya Anime/Manga yang original, agar anime/manga yang kita cintai produksinya tetap terus berjalan dan menarik.
dan herannya hal ini masih terus ada loh
pernah suatu ketika waktu kiki sedang nongkrong di tempat penyewaan komik. ada tulisan jual komik naruto lengkap tapi pake bahasa inggris harga 20 ribu dan 20 ribu sama dengan kamu beli 8 jilid komik (3 tankoubon naruto plus beberapa jilid komik campur2)
OMG ini kan sudah termasuk pelangaran fansub loh.... apa mereka ndak tahu Soal nya yang gw tahu emang bener Video mentahan anime disana Mahal Banget. tahu aja diJepang biaya hidup udah tinggi mereka sempet sempetnya beli dan mau translate anime dan ngasih gratis buat kita kita.
bagi kiki sih cukup kalau ada yang minta
:ehm kamu beli dvdnya aja yah nanti kiki burning kok. atauwa datang aja ke kontrakan buat ngopi.
DAN INGAT JANGAN JUAL HASIL KARYA ORANG LAIN
Bisa bayangkan bahwa virus seperti HIV, Spylis, Gonorrehea dan virus2x terkenal serta microba seperti ini bisa sangat manis dan lucu?
seorang designer kreatif telah menciptakan mainan boneka dari virus dan mikroba terkenal yang dibuat dengan skala 1 X 1.000.000.
nih hasilnya :
bacteria-bookworm
bacteria-clap (Gonorrhoea)
bacteria-cold (Flu)
bacteria-ecoli (Colon bacillus)
[b]bacteria-flesheating (Necrotic fasciitis)B]
bacteria-headlice (Head louse)
bacteria-kissingdisease(Infectious mononucleosis)
bacteria-madcow (Rabies)
bacteria-Offensive badbreath
bacteria-pimple (Pustule)
bacteria-pox (Syphilis)
bacteria-sleepingsickness (Surra)
bacteria-sorethroat (Tonsillitis)
bacteria-stomachache (Dysentery)
bacteria-ulcer
bacteria-yeast (Brewer's yeast)
Human immunodeficienct virus, HIV
bacteria-ebola
bacteria-flu
blackdeath
cough
heartworm
malaria
mange
microbes_brainstem
microbes_chickenpox
microbes_fat
microbes_herpes
microbes_redbloodcell
microbes_toxicmold
microbes_whitebloodcell
rabies
salmonella