POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

Perkembangan LDP dan DPJ

Diposting oleh Suicune And the Pair of Heart On 21.20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pasca kekalahan Jepang pada Perang Dunia ke II, Jepang mengalami proses demokratisasi yang cukup pesat. Pengalaman Jepang dengan sistem kepartaian sebelum Perang Dunia ke II, membuat Jepang tidak kesulitan menjalankan sistem demokrasi parlementer pasca Perang Dunia ke II.

Adalah Partai Liberal Demokrat / Liberal Democratic Party / Jiyu Minsyu To (LDP) sebuah partai konservatif yang kemudian muncul mendominasi perpolitikan di Jepang pasca Perang Dunia ke II, lebih tepatnya dominasi ini dimulai sejak pertengahan tahun 50-an.

Selama lebih dari empat dekade, dominasi LDP ini nyaris tak tergoyahkan. LDP memang sempat mencicipi pahitnya kekalahan pada pemilu Majelis Tinggi (House of Councillors) pada pemilu tahun 1989 dan sempat kalah di Mejelis Rendah (House of Representatives) pada tahun 1993 oleh koalisi tujuh partai yang membuatnya menjadi oposisi untuk pertama kali. Tetapi, kekalahan ini hanya berlangsung sebentar, sebab hanya setahun kemudian, LDP kembali menikmati empuknya kursi kekuasaan.

Kemunculan Partai Demokrat / Democratic Party of Japan / Minsyu To (DPJ) pada tahun 1998, ternyata turut merubah peta perpolitikan di Jepang. DPJ yang didirikan oleh beberapa tokoh LDP yang menggandeng beberapa partai oposisi yang ada, ternyata mampu menyedot perhatian masyarakat dan menjadi ancaman potensial bagi LDP.

DPJ yang memposisikan diri sebagai oposisi dari partai berkuasa, yaitu LDP, membuktikan tajinya dalam politik. Pemilu Mejelis Tinggi pada tahun 2004 silam menjadi ajang pembuktian dengan keberhasilah DPJ menguasai kursi mayoritas di Majelis Tinggi. Hal ini kemudian banyak menimbulkan spekulasi mengenai kemungkinan LDP terdepak untuk kedua kalinya dari tampuk kekuasaan eksekutif. Spekulasi ini didukung oleh adanya berbagai skandal dan penyimpangan yang dilakukan oleh politisi LDP yang membuat partai konservatif terbesar di Jepang itu menurun pamornya, terlebebih ketika dipimpin oleh Abe. Otomatis, hal ini memberikan dampak positif kepada DPJ.

1.2. Rumusan Masalah

Paper ini memfokuskan pembahasan pada kemampuan LDP untuk mendominasi perpolitikan Jepang selama empat dekade. Faktor apa saja yang menyebabkan LDP mampu bertahan dalam jangka waktu yang begitu lama. Paper ini juga akan membahas mengenai kemunculan DPJ yang merupakan pesaing berat LDP. Selain itu, akan dibahas juga mengenai apakah naiknya popularitas DPJ itu dikarenakan faktor DPJ itu sendiri, atau justru karena faktor eksternal, yaitu kondisi LDP yang memang sedang kritis yang membuat DPJ sebagai oposisi terbesar mendapatkan keuntungan politik.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah dan Perkembangan Liberal Democratic Party (LDP)

Liberal Democratic Party atau Jiyu Minshu To (leibh populer disebut LDP) adalah partai politik konservatif dan merupakan partai terbesar di Jepang. LDP dibentuk pada 15 November tahun 1955 sebagai gabungan dua partai oposisi, Partai Liberal (Jiyu To) yang dipimpin oleh Shigeru Yoshida dan Partai Demokrat Jepang (Minsyu To)yang dipimpin oleh Ichiro Hatoyama dimana keduanya merupakan partai konservatif sayap kanan yang melawan Partai Sosialis Jepang (Shakai To). Penggabungan kedua partai ini juga merupakan sebuah respon atas berkembangnya ideologi sosialis di Jepang.

Dalam pemilu Majelis Rendah yang pertama pada tahun 1958, LDP memenangkan 56 persen suara dan menguasai 61,5 % kursi. Pada tahun itu juga Jepang memiliki pemerintah konservatif sampai pada tahun 1993.

Politik domestik partai ini adalah konservatif, sayap kanan. Karakteristik partai ini adalah sebagai partai politik nasional, penyokong faham suka damai, partai demokrasi yang menolak sosialis dan komunis, partai yang menghormati sistem parlemen, progresif, serta sebagai kekuatan terciptanya negara yang sejahtera. Sebagai partai konservatif, LDP mendukung sistem kapitalis sebagai pondasi pemerintahan yang demokrasi dan kegiatan ekonomi serta sosial. Tidak seperti partai sayap kiri, LDP tidak menentukan ideologi atau filosofi politik. Secara tradisional, LDP mengidentifikasi sendiri dengan angka keberhasilan seperti: perkembangan ekonomi berdasar ekspor, kedekatan dengan Amerika Serikat di luar negeri dan politik bertahan, dan beberapa isu seperti reformasi administrasi.

Revolusi administrasi ini meliputi beberapa tema yaitu penyederhanaan dan pelurusan birokrasi pemerintah, memprivatisasi perusahaan milik negara, dan mengadopsi ukuran yang didalamnya termasuk reformasi pajak, diperlukan untuk mempersiapkan ketegangan ekonomi oleh masyarakat. Prioritas lain pada tahun 1990 adalah lebih aktif promosi untuk perkembangan regional Asia-Pasifik, menginternasionalisasi ekonomi Jepang melalui liberalisasi dan promosi permintaan domestik, menciptakan lingkungan teknologi tinggi dan promosi penemuan penelitian.

LDP bukanlah organisasi tunggal tetapi merupakan kompetisi faksi-faksi. Sebenarnya, faksi partai merupakan kelompok-kelompok yang ada dalam Diet yang memiliki latar belakang yang sama yang diikat oleh kewajiban yang memiliki peran penting dalam budaya politik Jepang[1]. Faksi umumnya terdapat dalam partai yang merupakan hasil dari merger atau penggabungan dua partai atau lebih. Faksi-faksi dalam partai bertujuan untuk mempertahankan ideologi atau nilai-nilai yang diegang oleh partai-partai sebelum merger. Faksionalisme dapat dilihat sebagai pemetaan aliran yang ada dalam partai tersebut. Dalam LDP pasti akan terlihat mana faksi yang liberal dan faksi mana yang demokrat. Perbedaan aliran pasti juga menimbulkan perbedaan pandangan yang dapat menyebabkan keluarnya sebuah faksi dari suatu partai politik. Namun, hal itu agak sulit dilakukan mengingat belum tentu faksi tersebut dapat bertahan hidup dalam persaingan politik di Jepang. Hal ini juga berkaitan dengan pendanaan partai dan bagaimana menarik suara untuk suatu partai baru. Jika sebuah faksi tetap bertahan dalam suatu partai besar, maka paling tidak akan ada jaminan bahwa kepentingan mereka akan diakomodir atau setidaknya dapat masuk ke legislatif.

Selain itu, faksi-faksi yang ada dalam partai juga mengalami koalisi dengan faksi lainnya. Koalisi faksi yang mendominasi akan disebut sebagai kelompok mainstream sedangkan koalisi yang kecil atau lemah akan disebut sebagai anti mainstream. Hubungan antar koalisi ini ialah oposisi satu sama lain. Koalisi seperti ini berpengaruh dalam perebutan kedudukan dalam partai sehingga juga memperngaruhi peraihan posisi dalam Diet dan kabinet.

Di LDP terdapat 5 fraksi utama yang mana di Jepang faksi-faksi menggunakan nama pemimpinnya, antara lain:

1. Faksi Machimura (Seiwa Seisaku Kenkyūkai), dipimpin oleh mantan menteri luar negeri Nobutaka Machimura. Ditemukan oleh Takeo Fukuda pada tahun 1962. Ini adalah fraksi pro ekonomi klasik dan konservatif. Mantan PM Jepang dan mantan pemimpin Partai Shinzo Abe berasal dari fraksi ini. Shintaro Abe (ayah Shinzo Abe) juga berasal dari fraksi ini, pernah menjabat sebagai pemimpin fraksi 1986-1991. Mantan PM Junichiro Koizumi dan Yoshiro Mori juga pernah memimpin fraksi ini. Tahun 2004, fraksi ini menyusul fraksi Hashimoto dalam kekuatannya di Majelis Rendah, tetapi hal ini diatasi dengan 51 kursi di Majelis Rendah dan 23 kursi di Majelis Tinggi.

2. Faksi Tsushima (Heisei Kenkyūkai), diketuai oleh Yuji Tsushima sejak September 2005. Sebelumnya dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Ryutaro Hashimoto. Secara de facto, fraksi ini dipimpin oleh anggota majelis tinggi Mikio Aoki. Fraksi ini memiliki pengaruh yang kuat dalam birokrasi. Namun mantan PM Hashimoto dan fraksinya terkena skandal ketika fraksi telah mengambil uang dari Japan Dental Association. Hashimoto lepas dari jabatan pada tahun 2004, dan keluar dari dunia perpolitikan pada tahun yang sama. Fraksi ini memiliki 48 kursi di Majelis Rendah dan 29 di Majelis Tinggi.

3. Faksi Ibuki (Shisuikai), dipimpin oleh Bunmei Ibuki. Setelah tragedi bunuh diri dari salah satu anggota fraksi ini pada Agustus 2005, fraksi memiliki 27 kursi di Majelis Rendah dan 18 kursi di Majelis Tinggi.

4. Faksi Koga (Kōchikai), dipimpin Makoto Koga, memiliki 32 kursi di Majelis Rendah dan 14 kursi di Majelis Tinggi. Sejarahnya, fraksi ini merupakan fraksi yang paling bergengsi, dengan banyaknya anggota ditarik dari kelas tinggi elite birokrasi.

5. Faksi Tanigaki (Kōchikai), dipimpin oleh Sadakazu Tanigaki. Sebelumnya fraksi ini dipimpin oleh Koichi Kato sampai tahun 2002 ketika Kato berhenti dari Diet dan terkena skandal dengan sekertaris pribadinya. Fraksi ini meiliki 12 kursi di Majelis Rendah dan 4 kursi di Majelis Tinggi.

6. Faksi Yamasaki (Kinmirai Seiji Kenkyūka)i, dipimpin oleh Taku Yamasakii, memiliki 24 kursi di Majelis Rendah dan 5 kursi Majelis Tinggi.

7. Faksi Komura (Banchō Seisaku Kenkyūjo), dipimpin oleh Masahiko Komura, memiliki 12 kursi di Majelis Rendah dan 2 kursi di Majelis Tinggi.

8. Faksi Kono (Taiyūkai), sebelumnya dipimpin oleh Yohei Kono, yang seorang pembicara dari House of Representatives, memiliki 9 kursi di Majelis Rendah dan satu kursi di Majelis Tinggi.

9. Faksi Nikai (Atarashii Nami), dipimpin oleh Toshihiro Nikai. Fraksi ini adalah fraksi yang paling sayap-kanan di LDP, memiliki 4 kursi di Majelis Rendah dan 2 kursi di Majelis Tinggi. Selain itu ada 25 kursi fraksi yang tidak berafiliasi dan 17 kursi di Majelis Tinggi. Pemimpin fraksi biasanya politisi veteran LDP, tetapi tidak semua menduduki jabatan PM.[2]

Inilah nama pemimpin-pemimpin LDP, selain menjadi pimpinan LDP, nama-nama dibawah ini juga pernah menjabat sebagai PM Jepang :

  1. Ichiro Hatoyama (4 Mei 195614 Desember 1956)
  2. Tanzan Ishibashi (14 Desember 195621 Maret 1957)
  3. Nobusuke Kishi (21 Maret 195714 Juli 1960)
  4. Hayato Ikeda (14 Juli 19601 Desember 1964)
  5. Eisaku Sato (1 Desember 19645 Juli 1972)
  6. Kakuei Tanaka (5 Juli 19724 Desember 1974)
  7. Takeo Miki (4 Desember 197423 Desember 1976)
  8. Takeo Fukuda (23 Desember 19761 Desember 1978)
  9. Masayoshi Ohira (1 Desember 197812 Juni 1980)
  10. Eiichi Nishimura (12 Juni 198015 Juli 1980)
  11. Zenko Suzuki (15 Juli 198025 November 1982)
  12. Yasuhiro Nakasone (25 November 198231 Oktober 1987)
  13. Noboru Takeshita (31 Oktober 19872 Juni 1989)
  14. Sosuke Uno (2 Juni 19898 Agustus 1989)
  15. Toshiki Kaifu (8 Agustus 198930 Oktober 1991)
  16. Kiichi Miyazawa (31 Oktober 199129 Juli 1993)
  17. Yohei Kono (30 Juli 199330 September 1995)
  18. Ryutaro Hashimoto (1 Oktober 199524 Juli 1998)
  19. Keizo Obuchi (24 Juli 19985 April 2000)
  20. Yoshiro Mori (5 April 200024 April 2001)
  21. Junichiro Koizumi (24 April 200121 September 2006)
  22. Shinzo Abe (21 September 20062007)
  23. Yasuo Fukuda (23 September 2007 - Sekarang)[3]

2.2. Perjalanan LDP Hingga 2004

Sejak didirikan pada tahun 1955, dan menguasai perpolitikan Jepang sejak memenangi pemilu 1958, dominasi LDP dapat berlangsug nyaris tanpa cela. Akhir tahun 1980, LDP bertanggung jawab atas perkembangan ekonomi Jepang yang pesat dan sukses. Jepang juga bermain sangat penting dalam akhir Perang Dingin. Awal tahun 1990, selama 4 dekade LDP berkuasa mengadakan proses formasi politik. Proses ini tidak akan mungkin jika partai lain menjaga mayoritas parlemen. Kekuatan LDP terletak pada keabadian, meskipun tidak tertantang koalisi bisnis besar, bisnis kecil, pertanian, kelompok profesional dan kepentingan lain. Birokrasi elit adalah kolaborasi dengan partai dan kepentingan kelompok dan menjalankan politik. Pemimpin jarang sekali yang karismatis, atau populer, tetapi ini berfungsi sangat efisien sebagai tempat untuk mencocokkan kepentingan kelompok, uang dan pemilihan dengan kekuatan birokrasi dan keahlian.

Akan tetapi, dominasi selama 3 dekade pertama ini mendapatkan pukulan berat pertama kali yang terjadi pada tahun 1989. LDP dipimpin oleh Sasuke Uno, yang juga menjadi Perdana Menteri dengan periode terpendek, yaitu dari bulan Juni hingga Agustus 1989, dan dianggap sebagai kabinet yang paling kacau dalam sejarah Jepang. Pada masa kepemimpinan Uno, LDP mengalami tantangan, terutama dalam menghadapi pemilu Majelis Tinggi yang akan dilaksanakan pada bulan Agustus. Sebelum pemilu Majelis Tinggi ini dilaksanakan, indikasi akan kemungkinan kalahnya LDP sudah terasa. Antara lain dengan kalahnya LDP dari Partai Sosialis[4] (Japan Socialist Party / Nihon Shakai To) dalam pemilu Dewan Kota Tokyo

Isu-isu yang mengganjal LDP ketika tahun 1989, antara lain adalah Skandal Rekruit, pajak konsumsi, dan liberalisasi pertanian Jepang. Isu inilah yang kemudian menjatuhkan dominasi LDP dalam pemilu Majelis Tinggi, dengan hanya mendapatkan 36 kursi dari representasi proporsional dan distrik regional. Sedangkan Majelis Tinggi sendiri dikuasai oleh Partai Sosialis. Kekalahan LDP ini mendorong mundurnya Sasuke Uno sebagai ketua LDP dan juga perdana menteri. Hal ini juga yang kemudian menyebabkan kabinet pimpinan Uno bubar.[5]

Toshiki Kaifu menggantikan Uno memimpin LDP sekaligus menjadi perdana menteri yang baru pada Agustus 1989. Pada masa ini, LDP banyak mendapatkan serangan dari partai oposisi, terutama setelah dominasi oposisi di Majelis Tinggi. Koalisi oposisi, yaitu Partai Sosialis, Partai Sosial Demokrat, dan Komeito mengusulkan sembilan RUU di Majelis Tinggi untuk menggantikan undang-undang mengenai pajak konsumsi, yang menjadi isu utama yang mengganjal LDP.

Memasuki tahun 1990, LDP kembali bertarung pada pemilu di paruh awal tahun ini untuk memperebutkan kursi di Majelis Rendah. Isu kampanye yang diusung oleh partai oposisi untuk mengalahkan LDP masih isu seputar pajak konsumsi yang diusung oleh LDP. Oposisi sekali lagi ingin mengalahkan LDP di pemilu majelis rendah, setelah berhasil menang dalam pemilu majelis tinggi.

Akan tetapi, LDP bukan hanya mempertahankan dominasinya di majelis tinggi, akan tetapi juga menambah perolehan kursi menjadi 275 kursi, yang membuatnya tetap aman di Majelis Rendah. Dengan kemenangan ini, Toshiki Kaifu tetap menjabat sebagai perdana menteri untuk kedua kalinya.

Pada periode ini, LDP dihadapkan pada isu luar negeri yaitu seputar Perang Teluk II, yang membuat Jepang turut berkontribusi secara finansial dalam mendukung perang tersebut. Akan tetapi, dalam periode ini, isu yang kemudian memaksa Toshiki Kaifu untuk mundur dari kursi Perdana Menteri adalah kegagalannya untuk menggolkan RUU mengenai reformasi politik. Kaifu mengakhiri jabatannya pada 5 November 1991.[6]

Pasca bubarnya Kabinet Kaifu, Kiichi Miyazawa ditunjuk sebagai Perdana Menteri yang baru dalam sidang luarbiasa parlemen pada 5 November 1991. Ia juga ditunjuk sebagai ketua LDP menggantikan Kaifu. Dalam masa ini, Kiichi Miyazaw dihadapkan dengan beberapa isu internasional dan lokal yang pada akhirnya akan mempengaruhi popularitas LDP di dalam negeri. Isu-isu itu, antara lain kerjasama dengan Opreasi Penjaga Perdamaian PBB, isu berkaitan dengan keikutsertaan Jepang dalam Putaran Uruguay / GATT yang mana liberalisasi pasar beras Jepang menjadi topik utama, dan isu reformasi politik.

Dalam isu pertama, mengenai peran Jepang dalam Operasi Penjaga Perdamaian, melalaui lobi dengan Komeito dan Partai Sosial Demokrat yang kemudian menyebabkan modifikasi dalam RUU yang berkaitan dengan peran Jepang tersebut, akhirnya LDP berhasil membawa RUU itu menjadi undang-undang. Memang, setelah majelis tinggi dikuasai oleh oposisi, perjuangan untuk mengesahkan RUU ini menjadi berat, sekalipun di Majelis Rendah sudah disetujui.

Dua isu, yang kemudian menyulitkan langkah LDP adalah isu mengenai liberalisasi pasar beras dan reformasi politik. Tekanan internasional terhadap Jepang untuk membuka pasar beras-nya, dan fakta bahwa Jepang tidak mampu untuk menghadapai tekanan internsional ini, membuat LDP harus berhadapan dengan isu politik seputar masalah beras. Dan ini berkaitan langsung dengan para pendukung tradisional LDP, yaitu masyarakat agraris di pedesaan.

Reformasi politik juga merupakan masalah yang rumit bagi LDP. Di saat tekanan dari masyarakat dan oposisi yang giat menyerukan reformasi politik, sulit bagi LDP untuk merumuskan RUU mengenai hal ini, dikarenakan di dalam internal LDP sendiri sulit untuk mencapai konsensus. LDP terpecah mengenai hal apa saja yang perlu direformasi, dan juga mengenai isu seputar perubahan sistem pemilihan umum. LDP juga terbentur dengan skandal Kyowa dan skandal Sagawa Kyubin yang melibatkan petinggi di LDP. Kekuatan LDP juga sempat mengalami goncangan ketika beberapa tokoh partai ini keluar dan mendirikan Nippon Shin-To (Partai Baru Jepang).

Lambatnya LDP untuk membahas reformasi politik, menyebabkan terjadinya mosi tidak percaya dari oposisi dan juga beberapa individu LDP di Majelis Rendah terhadap kabinet. Hal ini memaksa Kiichi Miyazawa membubarkan Majelis Rendah dan menggelar pemilihan umum.[7]

6 Agustus 1993, LDP untuk pertama kalinya dikalahkan oleh koalisi partai politik oposisi, dan pertama kali bagi LDP duduk sebagai oposisi. Koalisi partai oposisi inilah yang kemudian membentuk kabinet yang berkuasa selama kurang lebih 3 tahun. Sekalipun demikian, kursi di Majelis Tinggi dikuasai oleh LDP dengan menguasai 68 dari 127 kursi yang ada.

Pemerintahan Koalisi ini dipimpin oleh Morihiro Hosokawa, dan dihadapkan dengan beberapa isu sulit, antara lain masalah liberalisasi pasar beras, masalah di dalam Kementrian Perdagangan dan Industri Internasional, dan adanya perseteruan antara partai di dalam koalisi itu sendiri, yaitu antara Japan Renewal Party dan New Party Sakigake. Puncak dari ujian berat terhadap koalisi ini, adalah skandal Tokyo Sagawa Kyubin yang melibatkan perdana menteri Hosokawa. Morihiro Hosokawa akhirnya mundur dan digantikan oleh Tsutomu Hata.

Kabinet Hata pun tidak bertahan lama, dikarenakan ada permasalahan di dalam koalisi. Renewal Party dan Partai Sosialis membuat kelompok baru di dalam parlemen, yaitu Kaishin, yang menyebabkan konflik dengan Partai Sosial Demokrat, yang menyebabkan Partai Sosialis meninggalkan koalisi. Instabilitas terhadap Kabinet Hata pun terjadi, yang diakhiri dengan mosi tidak percaya yang disponsosri LDP, yang pada akhirnya menjatuhkan Kabinet Hata.

Pasca jatuhnya kabinet Hata, LDP kembali menguasai panggung politik dengan membentuk koalisi bersama Partai Sosialis dan New Party Sakigake. Kabinet baru dipimpin oleh Tomiichi Murayama dari Partai Sosialis

Kepemimpinan Murayama ini berlangsung cukup lama, hingga pada akhirnya LDP memilih Ryutaro Hashimoto sebagai ketuanya yang baru pada 22 September 1995. Hashimoto sendiri naik sebagai perdana menteri pada 11 Januari 1996 dengan didukung koalisi LDP, Partai Sosialis dan New Party Sakigake.[8]

Koalisi ini bertahan hingga tahun 1998, yang membuat LDP relatif tidak tertandingi sampai tahun 1998, ketika DPJ dibentuk. Tahun 2003, pemilihan House of Representatives, LDP menang 237 kursi dan DPJ menang 177 kursi. Tahun 2004 pada pemilihan House of Councilors, LDP menang 49 kursi dan DPJ 50 kursi.

2.3. Sejarah dan Perkembangan DPJ

Democratic Party of Japan (DPJ) atau Minshuto terbentuk pada tanggal 27 April 1998 atas penggabungan Partai Demokratik Jepang (Nihon Minshu To) yang lama (1996-1998), Partai Pemerintahan Rakyat (Minseito), Partai Fraternitas Baru (Shinto Yuuai), dan Serikat Reformasi Demokrat (Minshu-Kaikaku-Rengō). Keempat partai ini menganut ideologi yang berbeda-beda, yaitu liberal dan sosial-demokratik. Sejumlah partai oposisi yang bergerak bersama-sama untuk menetapkan oposisi baru dalam mengambil alih dominasi LDP di Jepang sejak tahun 1952. Seperti LDP, DPJ juga memiliki faksi-faksi yang berbeda di dalamnya tetapi faksi-faksi DPJ jauh lebih solid dibandingkan dengan LDP. Mantan Perdana Menteri, Tsutomo Hata dan Mantan ketua Partai Demokrat, Yusio Hatoyama dan Naoto Kan menjadi orang-orang penting yang berjasa dalam pembentukan partai baru ini. Awal dari DPJ menguasai 93 kursi House of Representative dan 36 kursi House of Councillors. [9]

DPJ beranggotakan profesional muda dari kelompok neokonservatif seperti birokrat, jurnalis, pengacara atau dokter. DPJ berusaha menampilkan kesan bahwa dirinya berbeda dengan LDP dan ingin bersaing dengan LDP dalam soal usulan kebijakan politik.

DPJ sangat menekankan pada implementasi yang cepat dari across-the-board reform dan pembentukan lingkungan yang lebih inklusif di Jepang. DPJ memerankan poin penting dalam mengenalkan manifesto (program partai) pada politik Jepang, yang menandai inisiasi debat politik. Kebijakan yang spesifik termasuk meningkatkan pajak konsumsi untuk mengatasi sistem pensiun yang terlalu membebani; mendukung otonomi regional dengan mengubah sistem, dari subsidi yang terikat ke penyediaan dana independen kepada daerah; dan membuat hampir semua jaringan jalan raya bebas pajak.

DPJ menjadi semakin kuat posisinya dalam pemilihan-pemilihan umum. Apalagi setelah Partai Liberal yang diketuai oleh Ichiro Ozawa pada tahun 2003, ikut bergabung bersama DPJ. Ichiro Ozawa yang sebelumnya menjadi orang penting dalam LDP (sekretaris jendral), akhirnya menjadi ketua DPJ untuk periode 2006 sampai sekarang.

Sebagai hasil dari gabungan beberapa partai, faksionalisasi dalam tubuh DPJ menjadi hal yang tidak terhindarkan. Faksi-faksi ini adalah:

  • Grup Hatoyama: dipimpin oleh Yukio Hatoyama, mantan Liberal Demokrat. Memiliki 60 orang anggota di Diet. Posisinya lebih ke tengah daripada grup Kan.
  • Isshin-kai: pendukung dari mantan pemimpin Partai Liberal, Ichiro Ozaaw, sekalipun ia tidak masuk sebagai anggota faksi. Memiliki 50 orang anggota.
  • Grup Kan: dipimpin oleh mantan ketua DPJ, Naoto Kan. Merupakan faksi yang lebih ke kiri dan memiliki 30 orang anggota.
  • Grup Partai Liberal : dibentuk oleh mantan anggota Partai Liberal. Memiliki 30 anggota dan dipimpin oleh Ichiro Ozawa dan Hirosha Fujii..
  • Kelompok Partai Sosialis Jepang: faksi yang paling kiri, dibentuk oleh mantan anggota Partai Sosialis Jepang moderat yang merasa bahwa Partai Demokratik Sosial terlalu radikal. Faksi ini memiliki 30 kursi.
  • Partai Sosialis Demokrta: anggota dari partai Sosialis Demokrat yang bergabung dengan DPJ pada awal pembentukan. Memiliki 50 orang anggota dan dipimpin olhe Tkasahi Yonezawa.
  • Ryoun-kai: faksi sayap kanan dan merupakan salah satu yang paling konservatif. Kebanyakan anggotanya dari Partai Sakigake. Memiiki 20 kursi di Diet dan dipimpin oleh Siji Maehara dan Yukio Edano.
  • Grup Konservatif: faksi terkecil dan paling konservatif. Hanya memilliki beberapa anggota saja dan berisi orang-orang Liberal Demokrat.[10]

Berikut adalah nama-nama mantan Ketua DPJ sejak terbentuk sampai sekarang :

  1. Naoto Kan : Apr 1998 – Sep 1999
  2. Yukio Hatoyama : Sep 1999 – Dec 2002
  3. Naoto Kan : Dec 2002 – May 2004
  4. Katsuya Okada : May 2004 – Sep 2005
  5. Seiji Maehara : Sep 2005 – Mar 2006
  6. Ichirō Ozawa : Apr 2006 – Sekarang

2.4. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan LDP Mendominasi Politik Jepang

Dukungan LDP banyak diperoleh dari kalangan bisnis, birokrat terutama masyarakat petani konservatif di pedesaan. Dukungan dari para pebisnis dan birokrat diperkuat oleh adanya Japan Incorporated, yaitu hubungan harmonis dan saling menguntungkan antara partai yang berkuasa (LDP), birokrat dan pebisnis. Hubungan ini mempengaruhi kebijakan LDP di bidang ekonomi seperti mendukung ekonomi neoliberal.

Mengapa LDP mendominasi hampir di setiap pemungutan suara? Mengapa LDP bisa dengan mudah selalu menang di pemilu? Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain

Selama ini basis pemilih LDP terdapat di pedesaan-pedesaan. Sebagian besar suara LDP berasal dari para petani konservatif. Hal inilah yang dianggap oposisi LDP sebagai encaman di dalam setiap pergulatan pemilu. Para pemilih d pedesaan dikenal sangat loyal terhadap pemimpinnya. Apa pun yang dibutuhkan pemimpinnya mereka bersedia mencariya.

Para pengamat menilai bahwa kemenangan LDP ketika pergulatan pemilu disebabkan bukan karena popularitas dan prestasi maupun program kerja yang mengesankan, tetapi lebih karena strategi politik LDP yang sikenal lihai dan licin. LDP tampaknya lebih mengandalkan pengalaman berpolitik ketimbang mengeksploatasi program kerjanya. Hal ini berkaitan dengan dominasi para generasi tua dalam tubuh partai LDP. Walaupun demikian, generasi tua ini sudah sangat mahir berpolitik dan mampu merecoki lawan politik sebagai akumulasi pengalaman. Sehingga hal ini lah yang menyebabkn partai LDP cukup lihai dan licin dalam menjalankan strategi perpolitikan di Jepang.

Faktor keberuntungan LDP terletak pada kemampuannya mencari mitra koalisi yang tepat ketika dihadapkan pada situasi harus berkoalisi. Misalnya ketika pada tahun 2000. Ketika itu dalam pemilu hari Minggu, LDP hanya meraih 229 kursi, dan bersama dua mitranya merebut total 271 kursi. Perolehan ini tentu saja menurun drastis, bahkan kurang dari dua pertiga total 336 kursi yang diduduki sebelum pemilu. Akan tetapi, angka itu tetap di atas posisi mayoritas mutlak 269 kursi. Langkah LDP merangkul Partai Komeito Baru dan Partai Konservatif Baru, dinilai sebagai langkah strategis yang menguntungkan.

LDP sangat giat dalam membangun kembali kepercayaan diri partai, ketika popularitasnya dalan kancah perpolitikan menurun. Hal ini termasuk juga dalam merespon keprihatinan yang ada di kalangan rakyat seta dalam melakukan dialog dengan partai-partai lainnya. Sehingga LDP senantiasa dapat merebut kembali kepercayaan masyarakat Jepang.

LDP juga didukung oleh kalangan bisnis dan birokrat. Dukungan ini diperoleh berkat adanya japan incorporated, yaitu hubungan timbal balik antara partai yang berkuasa (dalam hal ini LDP), kaum birokrat, dan pebisnis. Hubungan ini kemudian mempengaruhi garis kebijakan LDP di bidang ekonomi, yaitu mendukung perekonomian neo-liberal. Sedangkan untuk masalah domestik, LDP bersikap konservatif.

Sebagai partai hasil penggabungan, LDP memiliki platform yang fleksibel untuk mengakomodasi keinginan kedua partai asal serta memiliki 8 faksi dengan berbagai ideologi agar kelompok-kelompok yang berbeda tersebut tetap memperoleh tempat dalam partai. Namun, faksi-faksi tersebut saling bersaing untuk memperbesar pengaruhnya dalam menentukan kebijakan partai.

Sehubungan dengan proyek liberalisasi yang dilakukan bersama pemerintah Jepang dan Amerika Serikat, rakyat Jepang ternyata dinilai tidak butuh demokrasi ala parlementer. Isu ini dimanfaatkan oleh pengusaha, birokrat dan politisi untuk memenangkan LDP dalam pemilu karena satu-satunya partai liberal pada saat itu hanya LDP. Sudah tentu kelompok-kelompok di atas tidak akan memilih partai kiri seperti JSP karena industri Jepang yang saat itu sedang dibangun kembali berusaha dengan sistem ekonomi konsevatif yang ada. Yang bisa dibaca sementara adalah ketakutan akan kemenangan partai-partai sosialis. Konstruksi blok historis di Jepang pasca Perang tidak bisa dilepaskan dalam konteks Perang Dingin, di mana perebutan hegemoni antar kedua partai tak bisa lepas dari pengaruh Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Terlebih lagi diketahui bahwa partai-partai kiri, terutama Partai Komunis Jepang pada waktu itu berafiliasi dengan Partai Komunis Cina dan Partai Komunis Uni Soviet.

Sebagai partai terbesar, dalam tubuh LDP sendiri terdapat fraksi-fraksi yang sangat kuat dan saling bersaing. Setiap pemimpin fraksi bersikap sebagai oyabun terhadap anggota fraksinya.

2.5. Merosotnya Popularitas LDP, Naiknya Popularitas DPJ: Keberuntungan Sesaat DPJ?

LDP merupakan partai yang sudah memegang kekuasaan di Jepang selama 48 tahun. Selama ini, LDP begitu popular di mata masyarakat Jepang. Akan tetapi, beberapa isu maupun skandal yang melibatkan LDP beberapa tahun ini mulai menurunkan pamor LDP.

Walaupun berkuasa sangat lama, pamor LDP akhirnya menurun karena isu privatisasi pos yang akhirnya privatisasi pos tersebut disetujui oleh Majelis tinggi pada bulan oktober 2005 setelah sebelumnya Majelis tinggi menolak RUU ini dan PM Koizumi akhirnya menggelar rapat darurat dan membubarkan Majelis Rendah. Pemilu ini juga merupakan upaya untuk mendepak orang-orang LDP yang menentang kebijakannya.[11]

Kasus privatisasi pos merupakan kasus yang muncul pada era pemerintahan PM Koizumi. PM Koizumi menginginkan agar Pos Jepang menjadi milik swasta dan memecah pos Jepang menjadi empat perusahaan dengan tujuan agar kegiatan perbankan dan asuransi yang dilakukan oleh Pos Jepang menjadi terpisah dan agar Pos Jepang sendiri menjadi lebih efektif dan efisien.

Pos Jepang bukan hanya sebuah badan yang mengurus pos tetapi juga menjadi perusahaan besar yang mengurus asuransi dan perbankan. Sistem penyimpanan Pos Jepang telah menjadikan Pos Jepang sebagai sistem penyimpanan personal terbesar di dunia; Pos Jepang bertumbuh dan berkompetisi dengan institusi finansial swasta untuk memperebutkan simpanan dari para pekerja yang terlalu sibuk untuk mempertanyakan mengapa keuntungan mereka sangat kecil.[12]

Dana yang dimiliki oleh Pos Jepang berasal dari para penyimpan dan pemegang polis asuransi yang dialokasikan ke proyek-proyek publik yang diragukan kelaikannya. Proyek-proyek tersebut banyak dimiliki oleh politisi Jepang. PM Koizumi sendiri menginginkan agar dana proyek-proyek tesebut dapat dipangkas. Namun, bagi para golongan anggota senior di LDP sendiri, hal itu jelas sebuah ancaman karena mereka dana tersebut merupakan sumber dana mereka untuk membiayai proyek di distrik pemilihan mereka untuk memperoleh suara saat pemilu; dan sumber komisi hasil permainan proyek yang dibiayai oleh Pos Jepang.

Akibat dari permainan ini sangat terasa. Banyak proyek yang tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman dari Pos Jepang. Namun, warga Jepang tetap menyimpan dan membeli polis asuransi di Pos Jepang sehingga aliran dana terus mengalir ke perusahaan yang tidak sehat dan dialirkan lagi ke proyek yang merupakan milik politisi LDP.

Berakhirnya masa kepemimpinan PM Koizumi yang selanjutnya digantikan oleh PM Abe, ternyata membawa kemunduran dalam performance LDP. Banyak menteri-menteri PM Abe yang memiliki skandal ataupun manuver kontroversial.

Kejutan pertama dari kabinet Abe datang dari menteri pertahanan pertama Jepang yang memberi pernyataan kontroversial dengan “membenarkan” tindakan pengeboman Amerika Serikat terhadap Jepang pada PD II, sebagai upaya yang dapat menyelesaikan perang. Tentunya, pernyataa ini menimbulkan protes, diantaranya dari gubernur Nagasaki dan masyarakat Nagasaki[13].

Beberapa skandal yang terjadi, antara lain adalah tiga skandal yang melibatkan tiga menteri pertanian yang berbeda dalam kabinet Abe secara berurutan. Skandal di Kementrian Pertanian yang melibatkan menteri pertanian Norihiko Akagi. Skandal ini berupa adanya kesalahan laporan pengeluaran keuangan dari kementrian ini mendorong Norihiko Akagi untuk mundur dari kursi menteri pertanian hanya dua bulan setelah ia diangkat. Sebelumnya, Toshikatsu Matsuoka, pendahulu Akagi melakukan bunuh diri karena skandal keuangan yang berbeda.[14] Skandal Akagi ini menjadi salah satu hal yang banyak diekspos untuk menjatuhkan LDP dalam pemilihan Majelis Tinggi 29 Juli 2007.

Pasca kekalahan LDP dalam pemilu Mejelis Tinggi, Abe melakukan reshuffle kabinet sebagai upaya untuk menyelamatkan popularitas LDP di mata masyarakat. Akan tetapi, justru terungkap skandal di Departemen Pertanian yang melibatkan menteri pertanian yang baru.

Takehiko Endo, pengganti Norihiko Akagi terpaksa harus mundur dari jabatannya sebagai menteri pertanian delapan hari pasca menjadi menteri setelah terungkap skandal keuangan yang melibatkan dirinya. Endo terlibat dalam manipulasi tingkat kerusakan yang menimpa perkebunan anggur di Perfektur Yamagata tahun 1999, yang kemudian menyebabkan sebuah koperasi pertanian yang dikepalaianya mendapatkan aliran dana sebesar ¥1,15 juta dari pemerintah.[15]

Skandal ini merupakan pukulan berat bagi Abe dan LDP, karena kabinet yang baru ini, diharpakan dapat memperbaiki citra kabinet Abe dan LDP. Akan tetapi, justru terjadi skandal yang tentunya membuat citra LDP semakin merosot.

Selain itu maslah kultur kohai-sempai atau senioritas yang kuat di Jepang, membuat Abe yang relatif lebih muda dari menteri-menterinya maupun bawahannya di parlemen menjadi tidak efektif dalam menjalankan roda pemerintahan. Perlu dicatat bahwa dalam cabinet PM Abe, banyak menteri-menterinya yang jauh lebih senior, seperti Taro Aso dan Yasuo Fukuda yang tergolong sebagai sesepuh partai. Bagi PM Abe, mengundurkan diri adalah jalan terbaik daripada dirinya harus terus menanggung malu akibat skandal yang ada dalam kabinet dan mengatasi ketidaksanggupannya untuk memerintah para seniornya di pemerintahan. Namun, bagi rakyat Jepang sendiri, jika generasi tua kembali menduduki jabatan, dikhawatirkan korupsi akan terjadi lagi seperti kasus dana pensiun.

Dari pihak DPJ, menguasai Majelis Tinggi tidak berarti dapat menjatuhkan LDP karena DPJ sendiri tidak solid di dalam. Ichiro Ozawa, ketua DPJ pernah menyatakan tidak ingin menjadi PM dan hanya ingin berada di belakang layar padahal dalam pandangan umum masyarakat Jepang, ketua partai lah yang seharusnya menjadi PM. Walaupun ada calon lain seperti wakil ketua partai, yaitu Naoto Kan dan sekjen DPJ Yukio Hatoyama.

Selain itu, walaupun DPJ berhasil mengusasi Majelis Tinggi, factor dukungan masyarakat juga berpengaruh. Dukungan terhadap DPJ hanya banyak di kota sedangkan masyarakat desa yang jumlahnya jauh lebih besar dari masyarakat kota sangat mendukung LDP, dan dukungan ini merupakan dukungan tradisional yang sudah mengakar selama bertahun-tahun. Pada pemilu Majelis Tinggi, masyarakat desa cukup mendukung DPJ, tetapi itu hanya disebabkan oleh rasa kecewa dan bosan karena banyaknya skandal dalam LDP selama ini seperti korupsi. Namun, walaupun sempat merasa kecewa dengan partainya, masyarakat petani Jepang akan tetap setia pada LDP karena besarnya perhatian yang diberikan oleh LDP terhadap koenkai-nya. Hubungan ini akan terus terjaga sampai kapanpun walaupun pemimpin suatu partai telah jatuh. Koenkai partai tersebut akan terus mendukung partai dan pemimpin partai karena rasa setia dan penanaman budi yang diberikan oleh partai. Jadi, besar kemungkinan DPJ tidak akan bertahan lama karena kurangnya dukungan mayoritas masyarakat petani Jepang yang merupakan koenkai LDP yang dikenal sangat setia, dan jumlahnya yang sangat signifikan.

Mundurnya performance LDP telah dan akan dimanfaatkan dengan baik oleh oposisi yaitu DPJ. Sebagai oposisi yang terbesar, tentunya DPJ ingin mengantikan kedudukan LDP yang selama ini sangat dominan. Menangnya DPJ di Majelis Tinggi telah membuat LDP kesulitan dalam mengesahkan beberapa kebijakan. Seperti masalah RUU perpanjangan misi Angkatan Laut Jepang di Samudra Hindia untuk mendukung operasi pimpinan AS di Afghanistan yang ingin dilanjutkan oleh LDP karena komitmennya terhadap AS. RUU tersebut tidak disetujui oleh Majelis tinggi dan akhirnya memaksa PM Fukuda untuk memberikan proposal pada Ichiro Ozawa untuk berkoalisi walaupun sebenarnya LDP dapat membawa RUU kembali itu ke Majelis rendah dan mengadakan pemilihan. Namun, tindakan seperti itu bukanlah tindakan yang baik di mata masyarakat Jepang.

Sebenarnya, secara pribadi, Ozawa bersedia menerima tawaran koalisi yang diberikan Fukuda. Namun, anggota DPJ menolak koalisi tersebut. Ozawa akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan ketua partai DPJ yang segera ditolak oleh anggota DPJ karena keutuhan dan kekuatan DPJ akan terancam mengingat Ozawa adalah orang yang sangat kuat. Jika Ozawa keluar dari DPJ, besar kemungkinan baginya untuk membawa beberapa orang kepercayaannya dan membentuk partai baru. Hal ini tentu bukan hal yang diinginkan oleh anggota DPJ karena akan membuat DPJ menjadi tidak stabil dan lemah.

Perdana Menteri Yasuo Fukuda, nampaknya memiliki perkerjaan rumah yang cukup banyak untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat demi menjaga dominasi LDP, termasuk untuk menghindari terdepaknya LDP dari tampuk kekuasaan, sebagai mana terjadi pada rentang 1993-1994. Pembersihan LDP dari berbagai skandal dan korupsi, serta perlunya strategi penguasaan opini publik untuk mensiasati pembuatan kebijakan yang kurang populer adalah serangkaian kunci yang dapat digunakan untuk mempertahankan agar pintu kemenangan bagi LDP dapat terbuka lebar. Kemampuan LDP untuk menjaga popularitasnya, akan menyulitkan partai oposisi untuk melakukan kampanye negatif terhadap LDP.

Kunci, yang dimiliki DPJ sendiri lebih pada bagaimana memainkan opini publik yang berkembang, terutama yang merugikan popularitas LDP. Memang, cukup sulit untuk mengubah haluan masyarakat pedesaan yang menjadi pendukung tradisional LDP untuk beralih mendukung DPJ. Akan tetapi, potensi adanya swing voters yang lebih rasional dalam memilih partai politik, dapat dijadikan lahan bagi DPJ untuk meningkatkan perolehan dukungan. Sebagai partai yang tidak berkuasa, tentunya tidak mungkin bagi DPJ untuk membuat kebijakan tandingan secar kongkrit. Yang dapat dilakukan DPJ dalam waktu dekat “hanya” sebatas memainkan opini publik, atau melakukan “perlawanan” terhadap kebijakan LDP dalam kapasitasnya sebagai oposisi di parlemen. Sebab realita mengatakan bahwa naiknya populartias DPJ saat ini memang karena DPJ diuntungkan oleh situasi yang sedang tidak berpihak pada LDP. Bukan karena DPJ sudah mampu memiliki dukungan yang mengakar kuat.

Di sisi lain, perubahan sistem pemilu Jepang juga turut mempengaruhi perolehan suara bagi LDP, hal ini turut membuat LDP semakin rentan didepak dari kursi kekuasaan oleh DPJ.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Naiknya dukungan masyarakat terhadap DPJ membuat posisi DPJ terhadap LDP di pemerintahan menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Awalnya, DPJ memang hanya partai oposisi bagi LDP. Namun sekarang dengan kursi di Majelis Tinggi yang didominasi oleh DPJ, status oposisi DPJ membuat LDP semakin tidak dapat dengan leluasa melakukan manuver politik. Ibaratnya, jika dulu DPJ hanyalah duri yang berserakan di jalan, kini LDP sudah menjadi sebatang kayu yang menghalangi jalan.

Popularitas dan dominasi LDP yang bertahan selama empat dekade yang nyaris tanpa cela, kembali mendapatkan ujian berat. Beberapa kebijakan tidak populer dari era Koizumi, rangakian skandal di kabinet Abe, dan permasalahan internal LDP membuat partai ini kehilangan sebagian popularitasnya di mata masyarakat. Hal inilah yang kemudian justru menjadi sumber keuntungan bagi DPJ sebagai partai oposisi menjadi semakin besar. Hal ini dikarenakan adanya kejenuhan dan kekecewaan masyarakat terhadap LDP yang membuat DPJ bisa mendapatkan popularitas, terutama karena masyarakat nampaknya mulai merasa perlu mencari alternatif lain agar terjadi perubahan dalam perpolitikan di Jepang. Pendulum kekuasaan nampaknya sedang bergeser ke arah DPJ.

Posisi DPJ sebagai oposisi terbesar otomatis akan memberikan keuntungan jika popularitas LDP semakin menurun. Ketangguhan DPJ untuk memainkan opini publik dapat menjadi ladang perolehan dukungan bagi DPJ. Sehingga kini, menjadi tugas yang berat bagi LDP untuk kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat Jepang agar LDP tetap dipercaya untuk memimpin Jepang di abad ke 21 ini.

Bagi DPJ sendiri, nampaknya masih butuh pembuktian dan kerja keras, untuk menegaskan bahwa partai ini merupakan alternatif dari LDP, yang dapat memberikan perubahan yang positif dan didukung oleh masyarakt luas. Sehingga, DPJ tidak hanya bergantung dari kemenangan sesaat yang disebabkan oleh ketidakpopuleran LDP, akan tetapi juga bagiamana mendapatkan dukungan yang mengakar kuat sebagaimana didapatkan LDP dari koenkai-nya. Selain itu, dari sebagai hasil merger dari berbagai partai politik, menjadi tugas besar bagi DPJ untuk menjaga soliditas internal partai. Oposisi besar, tidak akan banyak berguna jika di dalamnya timbul benih-benih konflik yang memicu perpecahan.



[1] Kishimoto, Koichi. 1988. Politics in Modern Japan. Tokyo: Japan Echo Inc.

[2] Wikipedia.org. Liberal Democratic Pary (Japan).

[3] Ibid.

[4] Partai Sosialis Jepang ini kemudian pada tahun 1996 mengganti nama menjadi Partai Sosial Demokrat (Social Democratic Party atau Shakai Minsyu To)

[5]History of Liberal Democratic Party of Japan. Chapter 13. Liberal Democratic of Japan Website

[6] History of Liberal Democratic Party of Japan. Chapter 14. Liberal Democratic of Japan

[7] History of Liberal Democratic Party of Japan. Chapter 15. Liberal Democratic of Japan Website

[8] History of Liberal Democratic Party of Japan. Chapter 17. Liberal Democratic of Japan Website

[9] Wikipedia.org. Democratic Party of Japan.

[10] Ibid.

[11] UCLA Paul I and Hisako Terasaki Center for Japanese Studies. Privatizing The Post Office.

[12] Hayes, Declan. 2000. Japan’s Big Bang: The Regulation and Revitalization of the Japanese Economy. Boston: Tuttle Publishing. p. 23

[13] Japan Times. Kyuma exits over A-bomb gaffe.

[14] BBC News. Scandal-hit Japan miniter quits <>.

[15] Japan Times. Endo to quit over subsidy scandal.

1 Response to "Perkembangan LDP dan DPJ"

  1. Anonim Said,

    Jadi ki', kesimpulannya...

    di jepang juga ada partai...

    P.S. (@_@;) Hard text///

     

Posting Komentar

    Wh