POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

POST-TITLE-HERE

Posted by Author On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

BElajar Dari Tokyo

Diposting oleh Suicune And the Pair of Heart On 23.44
Diambil dari : http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/08/01445442/belajar.dari.tokyo




Belajar dari Tokyo
Jumat, 8 Agustus 2008 | 01:44 WIB


Oleh IVAN A HADAR



Pada Sidang Paripurna Istimewa DPRD memperingati HUT Ke-481 DKI Jakarta, yang dihadiri gubernur se-Jawa dan Sumatera serta duta besar negara yang menjalin kerja sama (sister city) dengan DKI Jakarta baru-baru ini, Jakarta diharapkan menjadi kota teladan bagi kota lain di Indonesia. Tokyo, sebagai salah satu sister city, yang memiliki beberapa persamaan, bisa menjadi ajang pembelajaran bagi Jakarta.

Lebih dari satu abad lalu, Tokyo (”Ibu Kota Timur”) telah berpenduduk satu juta orang. Meski mengalami dua kali kehancuran total akibat gempa bumi tahun 1923 dan dibumiratakan oleh bom-bom AS tahun 1945, Tokyo terus berkembang menjadi salah satu konglomerasi terbesar dan terpadat di dunia. Kini, seperempat penduduk Jepang adalah warga Tokyo yang hidup berdesakan di atas areal seluas sekitar 2 persen tanah Jepang.

Di Tokyo bermarkas 66 persen perusahaan Jepang. Di situ pula sekitar 30 persen produk nasional dihasilkan serta 60 persen bursa diperdagangkan. Sebagai pusat kebudayaan, ekonomi, dan politik, Tokyo seakan lokomotif yang menarik maju seluruh negeri Jepang. Padahal, Tokyo terletak di jalur gempa berbahaya. Tanpa ada terobosan, banyak yang meramal masa depan Tokyo terhitung suram.

Kepadatan penduduk, masalah permukiman, langkanya perumahan, dan kemacetan lalu lintas telah mencapai batas maksimal toleransi. Harga tanah di Tokyo mencuat tak tergapai. Di pusat kota harga tiap meter persegi lahan bisa mencapai 200.000 dollar AS. Perorangan tak ada lagi yang mampu membeli flat. Tokyo diserbu para pekerja karena di sinilah bermukim semua perusahaan terbaik Jepang. Tak heran perusahaan pun berbondong-bondong pindah ke Tokyo karena di sinilah bisa ditemui tenaga-tenaga terbaik.

Pernah ada upaya terobosan, sekitar dua dekade lalu. Saat itu Perdana Menteri Noboru Takeshita memproklamirkan desentralisasi Tokyo, termasuk kebijakan politik terpenting masa pemerintahannya. Program penanganan ”penyakit” Tokyo diberi nama Furosato, berarti ”kembali ke desa”.

Sebagai langkah dramatis pertama, Takeshita mewajibkan setiap kementerian dan departemen terpenting pemerintahannya agar memindahkan satu direktorat atau departemennya ke kota lain. Awalnya, tercatat 290 direktorat yang rencananya dipindahkan dari Tokyo. Selang beberapa bulan daftar ini menyusut menjadi 79 direktorat yang tidak begitu penting. Akhirnya, yang bersedia pindah hanya direktorat tak begitu penting, seperti direktorat ”Pencemaran Lingkungan akibat Penambangan Batubara” serta ”Institut Penelitian Pabrik Bir”.

Tidak satu direktorat penting pun yang bersedia meninggalkan Tokyo. Alasannya, pemindahan membawa masalah. Hari ini, demikian argumentasi mereka yang tidak setuju, orang ke ibu kota dan bisa menyelesaikan berbagai keperluan. Besok bila kantor-kantor itu dipindahkan ke mana-mana, orang harus menjelajahi separuh Jepang untuk menyelesaikannya.
Penentang terkeras rencana pemindahan ibu kota adalah Pemerintah Kota dan Gubernur Tokyo.. Sebagai solusi, sang gubernur mengusulkan pembangunan dua kanal raksasa berbentuk lingkaran menelusuri kota dan 7.000 pulau kecil buatan yang ditanami pepohonan. Hal ini dimaksudkan untuk ”mempertahankan konsentrasi manusia dan perusahaan terbaik di Tokyo”. Sementara rencana bagi ibu kota baru menumpuk, populasi Tokyo terus membengkak. Dalam waktu 36 bulan terakhir, sekitar 10.000 perusahaan pindah markas dari daerah ke Tokyo.

Bersolek
Lalu, apa yang bisa dipelajari Jakarta dari Tokyo? Seperti Tokyo, Jakarta seharusnya lebih banyak bersolek, terutama dari segi kebersihan kota, penghijauan, dan ketersediaan transportasi umum. Yang juga tak kalah penting adalah pencukupan dan pembenahan permukiman penduduk, terutama bagi kelompok menengah-bawah. Dalam beberapa hal, Jakarta sudah ”berpenyakit“ mirip Tokyo. Bangunan pencakar langit kini bermunculan bak jamur. Begitu pula dengan jalan-jalan layang dan tendensi Jakarta untuk menjadi megapolis dengan ”merangkul” kota-kota kecil sekitarnya menjadi Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) serta Jabopuncur (Jakarta, Bogor, Puncak, dan Cianjur).

Seperti Tokyo, Jakarta juga menjarah lahan pertanian untuk dijadikan daerah permukiman, industri, jalanan, dan waduk baru. Bila hal ini terus berlangsung, Jakarta tidak akan memiliki sektor agraria tradisional dalam lima tahun mendatang. Dalam jumlah penduduk, Jakarta diam-diam ”menguntit” Tokyo. Pertambahan penduduknya setiap malam rata-rata mencapai 1.000-1.500 orang dan ini karena Jakarta seperti halnya Tokyo mempunyai daya pesona yang tinggi. Di Jakarta-lah terletak pusat kebudayaan, ekonomi, dan politik republik ini. Sirkulasi uang di Jakarta, menurut perkiraan, mencapai jumlah lebih dari 60 persen sirkulasi uang di Indonesia. Di sini pula berpusat hampir semua departemen dan kementerian. Pendeknya, roda pemerintahan berputar di Jakarta serta di sini pula berkumpul lembaga dan pakar budaya.

Tokyo yang kaya mungkin masih bisa bertahan dengan kondisinya saat ini. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh Jakarta. Pembelajaran terpenting dari Tokyo adalah jangan ”menguntit” Tokyo terkait berbagai penyakitnya sebagai megapolis.

Pengonversian fungsi lahan pertanian ke nonpertanian sudah mencapai taraf mengkhawatirkan sehingga pada gilirannya akan mengganggu program pangan nasional jangka panjang. Sejak lima tahun terakhir, kota-kota kecil di sekitarnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Jakarta.

Keseimbangan ekosistem air yang semakin terganggu, bahaya pencemaran udara dan lingkungan, masalah lalu lintas, permukiman, serta tenaga kerja adalah tantangan saat ini yang akan menjadi-jadi bila tidak diupayakan penanggulangannya dengan perspektif ke depan. Kebutuhan akan air bersih di Jakarta, misalnya, menurut sebuah perhitungan, akan tidak terpenuhkan bila pembangunan lebih mengutamakan investasi ketimbang kualitas lingkungan.

Sumber alam, binaan, dan manusianya adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan tata ruang DKI. Tak kalah pentingnya adalah upaya menaikkan pesona sosial-ekonomi daerah dan kota lainnya di luar Jabodetabek, khususnya di luar Jawa. Mungkin yang paling penting adalah penentuan prioritas pembangunan berkelanjutan. Salah satu yang kini mendesak adalah arah pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan yang terlambat memperhitungkan kualitas lingkungan, seperti yang terjadi di Jakarta selama ini, akan membuahkan persoalan lingkungan yang rumit sehingga pada gilirannya membutuhkan biaya penanggulangan yang sangat tinggi. Itu pun kalau belum terlambat. Kalau lingkungan belum sekarat.

IVAN A HADAR
Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi

0 Response to "BElajar Dari Tokyo"

Posting Komentar

    Wh