sekarang aku mo ngejelasi tentang Gandrung dan Bahasa Osing
Gandrung
Deskripsi
Gandrung Banyuwangi berasal dari kata Gandrung, yang berarti tergila-gila atau cinta habis-habisan. Tarian ini masih satu generasi dengan tarian seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di Cilacap dan Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, yakni melibatkan seorang wanita penari professional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik atau gamelan.
Tarian ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi cirri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan Gandrung, dan anda akan menjumpai patung penari Gandrung di berbagai sudut wilayah Banyuwangi, dan tak ayal lagi Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung.
Tari Gandrung ini sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya.
Sejarah
Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan menurut laporan Scholte (1927) instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang dimungkinkan karena ajaran Islam melarang segala bentuk travesty atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Sedangkan Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti �Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing� (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan Seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya Gandrung oleh wanita.
Tradisi Gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung, yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian disamping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak oleh era globalisasi.
Bahasa Osing
Bahasa Osing adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat Banyuwangi di ujung timur pulau Jawa (Jawa Timur). Kata Osing berasal dari kata tusing dalam bahasa Bali, yang berarti tidak.
Penduduk asli Banyuwangi biasa disebut Lare Using atau Wong Osing. Penutur Bahasa Jawa-Osing ini tersebar terutama di wilayah tengah Kabupaten Banyuwangi, terutama kecamatan-kecamatan: Banyuwangi, Kabat, Rogojampi, Glagah, Kalipuro, Srono, Cluring, Giri, Gambiran, Singojuruh, Genteng, Licin.
Sedangkan wilayah lainnya adalah wilayah tutur campuran baik Bahasa Jawa ataupun Bahasa Madura. Selain di Banyuwangi, penutur bahasa ini juga dapat dijumpai di wilayah kabupaten Jember, terutama di Dusun Krajan Timur, Desa Glundengan, Kecamatan Wuluhan, Jember. Namun dialek Osing di wilayah Jember ini telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura disamping dikarenakan keterisolasiannya dari daerah Osing di Banyuwangi.
Pada akhiran kalimat, huruf hidup akan terbaca seperti ini:
- (u) menjadi (au)
- (i) menjadi (ai)
- (o) menjadi (ao)
- (e) menjadi (ae)
- (oo) menjadi (aoo)
Sedang dalam kata :
- biru terbaca (birAu)
- gedhigi terbaca (gedhigAi) = begini
- soto terbaca (sotAoo)
- sore dhadi (sorAe)
- milo dhadi (milAo)
Sedangkan huruf bA, gA, dA, nA, mA ada penambahan ya :
- (bA) jadi (byA) = embah terbaca embyah
- (gA) jadi (gyA) = gadung terbaca gyadung
- (dA) jadi (dyA) = dedari terbaca dedyari
Kalimat :
- Banyuwangi terlafal (ByAnyuwangAi)
- Kembang gadhung terbaca (kembyAng gyAdong)
- Dhayuh terbaca (DyAyoh)
- Omah terbaca (UmyAh)
- Uwak terbaca (uyyA')
- Nonah terbaca (nonyAh)
- Embah terbaca (embyAh)
Selain itu, ada ciri khas lainnya dari bahasa atawa dialek Osing ini yang aneh...untuk kata "tidak" mereka menggunakan kata sing dan itu banyak terpengaruh bahasa sekitarnya, seperti misalnya Bahasa Bali atau kawi
- bojog : monyet
- Jerangkong : Setan
- siro : sama dengan di Cirebon dan Indramayu yang berarti kamu
- isun : aku, dan masuk bahasa Kasar
- ring, nong : di
- nono : tidak ada
- sawi : singkong. Hati-hati kalau beli sawi di Banyuwangi, nanti dikasih singkong
- sawen: sawi
- Klendhi kabare? (terbaca : Klendhi kabyare?) : Apa kabar?
- Gelang alit (gelyang alit) : cincin
- Uwak adhon (uyyak adhon) : Bibi, Bhulik
Kadang dibalik Kabare klendhi? dan lafalnya menjadi : kabyAre klendAi?
- Ono paran? : Ada apa?, kata Paran di Banyuwangi artinya "apa"
- Gedhigi (baca: gedigAi) : begini
- Gedhigu (baca : gedigAu) : begitu
Kosakata berakar bahasa Inggris juga masuk dalam daftar kamus dialek Banyuwangi, karena pada masa silam banyak Tuan Tanah Inggris, khususnya di Glenmore dan Kalibaru yang akhirnya turut mempengaruhi kosakata setempat, nih contohnya :
- sulung (dari frasa so long) : duluan
- nagud (dari frasa no good) : jelek